Monday, November 9, 2009

makalah sosial comparation

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Kita selalu membandingkan diri kita dengan orang lain dan kelompok kita dan kelompok lain. Hal-hal yang dibandingkan hampir semua yang kita miliki, mulai dari status sosial, status ekonomi, kecantikan, karakter kepribadian dan sebagainya. Konsekuensi dari pembandingan adalah adanya penilaian sesuatu lebih baik atau lebih buruk dari yang lain. Melalui perbandingan sosial kita juga menyadari posisi kita di mata orang lain dan masyarakat. Kesadaran akan posisi ini tidak akan melahirkan prasangka bila kita menilai orang lain relatif memiliki posisi yang sama dengan kita. Prasangka lahir ketika orang menilai adanya perbedaan yang mencolok. Artinya keadaan status yang tidak seimbanglah yang akan melahirkan prasangka (Myers, 1999). Dengan masyarakat yang perbedaan kekayaan anggotanya begitu tajam prasangka cenderung sangat kuat. Sebaliknya bila status sosial ekonomi relatif setara prasangka yang ada kurang kuat.
Para sosiolog menyebutkan bahwa prasangka dan diskriminasi adalah hasil dari stratifikasi sosial yang didasarkan distribusi kekuasaan, status, dan kekayaan yang tidak seimbang di antara kelompok-kelompok yang bertentangan (Manger, 1991). Dalam masyarakat yang terstruktur dalam stratifikasi yang ketat, kelompok dominan dapat menggunakan kekuasaan mereka untuk memaksakan ideologi yang menjustifikasi praktek diskriminasi untuk mempertahankan posisi menguntungkan mereka dalam kelompok sosial. Hal ini membuat kelompok dominan berprasangka terhadap pihak-pihak yang dinilai bisa menggoyahkan hegemoni mereka. Sementara itu kelompok yang didominasi pun berprasangka terhadap kelompok dominan karena kecemasan akan dieksploitasi. Bertolak dari itu semua, maka dirasa sangat perlu bagi kita untuk mempelajari lebih jauh mengenai teori perbandingan sosial pada diri individu dan masyarakat.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam pembahasan Perbandingan Sosial meliputi:
1. Apa yang dimaksud dengan Teori Perbandingan Sosial?
2. Bagaimanakah kecenderungan perilaku individu dalam analisis Teori Perbandingan Sosial?
3. Bagaimanakah menyikapi fenomena-fenomena yang berkaitan dengan Teori Perbandingan Sosial?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memahami lebih jauh teori Perbandingan Sosial yang banyak terjadi di masyarakat.
Adapun manfaat yang diharapkan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Mengenal lebih jauh mengenai teori Perbandinga Sosial (Social Comparison)
2. Memahami kecenderungan individu atau masyarakat dalam perilakunya dari sudut pandang Teori Perbandingan Social
3. Mengembangkan sikap yang sehat dalam menghadapi fenomena perbandingan sosial.
D. Metodologi Penulisan
Metodologi yang digunakan oleh penulis untuk meneliti adalah dengan mangadakan studi literatur terhadap buku-buku dan artikel-artikel yang menjadi sumber rujukan dalam penulisan makalah ini.




BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Perbandingan Sosial (Social Comparison)
Masing-masing orang memiliki konsep diri yang berbeda-beda sehingga menyebakan dirinya melakukan perbandingan diri dengan orang lain. Gejala ini disebut sebagai perbandingan sosial. Perbandingan sosial terjadi manakala orang merasa tidak pasti mengenai kemampuan pendapatnya maka meraka akan mengevaluasi diri mereka melalui perbandingan orang lain yang sama. Perbandingan sosial merupakan proses otomatis dan spontan terjadi. Umumnya motif yang dilakukan manusia dalam melakukan perbandingan sosial adalah untuk mengevaluasi diri sendiri, memperbaiki diri sendiri dan meningkatkan diri sendiri.
Manusia dalam melakukan perbandingan sosial berlaku dalil umum sebagai berikut :
• Persamaan (similarity hypothesis) : artinya manusia melakukan perbandingan dengan orang-orang yang sama dengan dirinya (laterla comparison) atau yang sedikit lebih baik dan umumnya manusia tersebut berjuang untuk menjadi lebih baik.
• Dikaitkan dengam atribut (related atribut hypothesis) : artinya manusia melakukan perbandingan dengan melihat usia, etnis dan jenis kelamin yang sama
• Downward comparison : manusia kadang membandingkan dirinya dengan orang yang lebih buruk dari dirinya. Umumnya ini dilakukan untuk mencari perasaan yang lebih baik atau mengabsahkan diri sendiri (self validating). Disini muncul dalil bahwa manusia kadang tidak objektif dalam melakukan perbandingan sosial
Teori Sosial Comparison (Dorian & Garfinkel, 2002) menyatakan bahwa setiap orang akan melakukan perbandingan antara keadaan dirinya sendiri dengan keadaan orang-orang lain yang mereka anggap sebagai pembanding yang realistis. Perbandingan sosial semacam ini terlibat dalam proses evaluasi diri seseorang, dan dalam melakukannya seseorang akan lebih mengandalkan penilaian subyektifnya dibandingkan penilaian obyektif. Bila masyarakat terlanjur membentuk pandangan bahwa penampilan fisik yang ideal itu adalah seperti yang dimiliki para model yang ditampilkan dalam media massa, maka akan ada kecenderungan bahwa individu akan membandingkan dirinya berdasarkan standar yang tidak realistis. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa orang-orang yang sebenarnya memiliki proporsi tinggi badan serta berat badan yang normal mungkin saja memiliki penilaian yang negatif mengenai tubuhnya karena menggunakan tubuh model-model yang dilihatnya di media masa sebagai pembanding (Vilegas & Tinsley, 2003). Sampai batas tertentu, proses berpikir kritis terhadap diri sendiri memang akan membantu seseorang untuk menilai dirinya sendiri secara sehat dan untuk beradaptasi dengan lingkungannya.
Festinger (Sarwono, 2004) menyebutkan bahwa teori perbandingan sosial adalah proses saling mempengaruhi dan perilaku saling bersaing dalam interakso sosial ditimbulkan oleh adanya kebutuhan untuk menilai diri sendiri (self-evaluation) dan kebutuhan ini dapat dipenuhi dengan membandingkan diri dengan orang lain.
Ada dua hal yang diperbandingkan dalam hubungan ini, yaitu:
a. Pendapat (opinion)
b. Kemampuan (ability)
Perubahan pendapat relatif lebih mudah terjadi daripada perubahan kemampuan.
1. Dorongan untuk menilai pendapat dan kemampuan
Festinger mempunyai hipotesis bahwa setiap orang mempunyai dorongan (drive) untuk menilai pendapat dan kemampuannya sendiri dengan cara membandingkannya dengan pendapat dan kemampuan orang lain. Dengan cara itulah orang bisa mengetahui bahwa pendapatnya benar atau tidak dan seberapa jauh kemampuan yang dimilikinya (Sarwono, 2004).
Festinger juga memperingatkan bahwa dalam menilai kemampuan, ada dua macam situasi, yaitu: Pertama, kemampuan orang dinilai berdasarkan ukuran yang obyektif, misalnya kemampuan mengangkat barbel. Kedua, kemampuan dinilai berdasarkan pendapat. Misalnya, untuk menilai kemampuan pelukis berdasarkan pendapat orang lain.
2. Sumber-sumber penilaian
Orang akan mengagungkan ukuran-ukuran yang obyektif sebagai dasar penilaian selama ada kemungkinan melakukan itu. Namun, jika tidak, maka orang akan menggunakan pendapat atau kemampuan orang lain sebagai ukuran.
3. Memilih orang untuk membandingkan
Dalam membuat perbandingan dengan orang lain, setiap orang mempunyai banyak pilihan. Namun, setiap orang cenderung memilih orang sebaya atau rekan sendiri untuk dijadikan perbandingan.
Festinger mempunyai hipotesis mengenai hal ini yaitu: kecenderungan untuk membandingkan diri dengan orang lain menurun jika perbedaan pendapat atau kemampuan dengan orang lain itu meningkat. Dari hipotesisnya itu, terdapat dua hipotesis ikutan (corollary), yaitu:
a. Kalau ia boleh memilih, seseorang akan memilih orang yang pendapat atau kemampuannya mendekati pendapat atau kemampuannya sendiri untuk dijadikan pembanding.
b. Jika tidak ada kemungkinan lain kecuali membandingkan diri dengan pendapat atau kemampuan orang lain yang jauh berbeda, maka seseorang tidak akan mampu membuat penilaian yang tepat tentang pendapat atau kemampuannya sendiri.
Dengan menggunakan beberapa hipotesisnya selanjutnya Festinger menarik beberapa kesimpulan (derivasi) untuk tujuan peramalan tingkah laku:
Derivasi A: penilaian orang terhadap dirinya akan mantap (stabil) jika ada orang lain yang pendapat atau kemampuannya mirip dengan dirinya untuk dijadikan pembanding.
Derivasi B: penilaian cenderung akan berubah jika kelompok pembanding yang ada mempunyai pendapat atau kemampuan yang jauh berbeda daripada pendapat atau kemampuan sendiri.
Derivasi C: orang akan kurang tertarik pada situasi-situasi di mana orang lain mempunyai pendapat atau kemampuan yang berbeda dari dirinya sendiri dan akan lebih tertarik pada situasi di mana orang lain mempunyai pendapat atau kemampuan yang hampir sama dengan dirinya sendiri. Dengan perkataan lain, orang akan lebih tertarik pada kelompok yang memberi peluang lebih banyak untuk melakukan perbandingan.
Derivasi D: perbedaan besar dalam suatu kelompok dalam hal pendapat atau kemampuan akan menimbulkan tindakan untuk mengurangi perbedaan itu.
4. Faktor-faktor yang memengaruhi perubahan
Seperti yang telah dikatakan di atas, terdapat perbedaan antara kemampuan dan pendapat, pada kemampuan ada desakan untuk berubah ke satu arah, yaitu ke arah kemampuan yang lebih tinggi atau baik sedangkan dalam hal pendapat terdapat keleluasaan untuk terjadinya perubahan ke segala arah.
Atas dasar itu, Festinger mengajukan hipotesis berikutnya, yaitu dalam hal kemampuan terdapat desakan untuk berubah searah yaitu berubah ke atas yang tidak terdapat dalam hal perbedaan pendapat. Hipotesis ini menurut Festinger setidaknya berlaku untuk masyarakat seperti di Amerika Serikat, di mana prestasi yang tinggi sangat dihargai. Dengan kata lain, di lingkungan masyarakat lain di mana prestasi yang tinggi tidak mendapat penghargaan yang tinggi, hipotesis ini belum tentu berlaku.
Hipotesis berikutnya yang dikemukakan Festinger didasarkan pada perbedaan antara kemampuan dan pendapat tersebut adalah: ada faktor-faktor nonsosial ang menyulitkan atau tidak memungkinkan perubahan kemampuan pada seseorang, yang hampir-hampir tidak ada pada perubahan pendapat. Misalnya orang badannya lemah bisa saja berpendapat bahwa ia bisa mengangkat barbel seberat 100 kg. Tetapi kenyataanya ia tetap saja tidak dapat mengangkat barbel tersebut. Lain halnya jika seseorang merasa pendapatnya salah, maka dengan mudah ia mengubah pendapatnya tersebut.
5. Berhentinya perbandingan
Jika kita melihat Derivasi D di atas, yaitu perbedaan besar dalam suatu kelompok dalam hal pendapat atau kemampuan akan menimbulkan tindakan untuk mengurangi perbedaan itu. Maka akan muncul beberapa kesimpulan lagi, salah satunya adalah jika perbedaan pendapat atau kemampuan dengan orang lain dalam kelompok terlalu besar, maka akan terdapat kecenderungan untuk menghentikan perbandingan-perbandingan.
Konsekuensi pengehentian perbandingan ini berbeda antara pendapat dan kemampuan, karena perbedaan pendapat seseorang dari kelompok berarti pendapat orang itu tidak benar, sedangkan konotasi negatif seperti itu tidak selalu terdapat pada perbedaan kemampuan.
Mengenai hal ini, Festinger mengemukakan hipotesis bahwa sejauh perbandingan yang berkepanjangan dengan orang lain menimbulkan konsekuensi yang tidak menyenangkan, penghentian perbandingan akan diikuti oleh perasaan bermusuhan dan kebencian. Hipotesis ini pun memiliki hipotesis ikutan yang menyatakan bahwa penghentian perbandingan akan diikuti oleh perasaan bermusuhan atau kebencian hanya dalam hal perbedaan pendapat, tidak dalam hal perbedaan kemampuan.
6. Desakan ke arah keseragaman
Setiap faktor yang meningkatkan dorongan untuk membandingkan pendapat atau kemampuan dengan sendirinya juga akan merupakan faktor yang mendesak ke arah tercapainya keseragaman pendapat atau kemampuan yang bersangkutan. Atau dengan kata lain bahwa setiap faktor yang meningkatkan pentingnya suatu kelompok sebagai kelompok pembanding untuk suatu pendapat atau kemampuan akan merupakan faktor yang meningkatkan desakan ke arah keseragaman dalam hal pendapat atau kemampuan tersebut.
Desakan ke arah keseragaman pendapat atau kemampuan tergantung dari daya tarik kelompok itu. Semakin menarik kelompok itu bagi seseorang, semakin penting arti kelompok itu sebagai pembanding dan semakin kuat pula desakan pada orang itu untuk mengurangi perbedaan antara dirinya sendiri dengan kelompok. Hal tersebut terlihat dalam perilaku-perilaku sebagai berikut:
a. kecenderungan untuk mengubah pendapat sendiri
b. usaha yang semakin meningkat untuk mengubah pendapat orang lain
c. kecenderungan yang meningkat untuk membuat orang lain kurang senang
Jika ada berbagai pendapat atau kemampuan dalam kelompok, manifestasi dari kekuatan desakan ke arah keseragaman berbeda-beda antara orang yang ada di dekat pendapat umum kelompok (modus pendapat kelompok) dengan orang yang jauh dari modus pendapat. Khususnya orang yang dekat dengan modus pendapat kelompok, mempunyai kekuatan yang lebih besar untuk mengubah posisi pendapat atau kemampuan orang lain, relatif lebih lemah kecenderungannya untuk memperkecil kemungkinan perbandingan dan sangat lemah kecenderungannya untuk mengubah posisinya sendiri jika dibandingkan dengan orang yang jauh dari modus pendapat kelompok.
7. Pengaruhnya terhadap pembentukan kelompok
Dorongan untuk menilai diri sendiri mempunyai pengaruh yang penting terhadap pembentukan kelompok dan perubahan keanggotaan kelompok:
a. Karena perbandingan hanya bisa terjadi dalam kelompok, maka untuk menilai diri sendiri orang terdorong untuk berkelompok dan menghubungkan dirinya sendiri dengan orang lain.
b. Kalompok yang paling memuaskan adalah yang pendapatnya paling dekat dengan pendapat sendiri. Oleh karena itu, orang lebih tertarik pada kelmpok yang pendapatnya sama dengan pendapat sendiri dan cenderung menjauhi kelompok-kelompok yang pendapatnya berbeda dari pendapat sendiri.
8. Konsekuensi-konsekuensi dari perbandingan yang dipaksakan
Jika perbedaan-perbedaan pendapat atau kemampuan dalam kelompok terlalu besar, maka kelompok akan mengatur dirinya sedemikian rupa sehingga perbedaan itu dapat didekatkan dan perbandingan dapat dilakukan.
Akan tetapi, Festinger mengatakan bahwa ada dua situasi di mana hal tersebut tidak terjadi, yaitu di mana perbedaan tetap besar, tetapi perbandingan tetap harus dilakukan. Kedua situasi tersebut adalah:
a. Situasi di mana kelompok itu sangat menarik bagi seseorang sehingga orang itu tetap saja ikut dalam kelompok walaupun pendapat atau kemampuannya cukup jauh berbeda dari pendapat atau kemampuan kelompok.
b. Situasi di mana individu terpaksa harus ikut terus dengan kelompok karena tidak ada kemungkinan lain, misalnya orang yang dipenjara, atau harus tetap bekerja walaupun tidak suka pada perusahaan tempatnya bekerja. Dalam hal ini pengaruh kelompok terhadap individu lemah dan keseragaman pendapat hanya dapat dicapai melalui paksaan atau kekerasan.

B. Kaitan Teori Perbandingan Sosial dengan Teori Sosial Lain
1. Teori Perbandingan sosial dalam komunikasi kelompok
Teori atau pendekatan perbandingan sosial mengemukakan bahwa tindak komunikasi dalam kelompok berlangsung karena adanya kebutuhan-kebutuhan dari individu untuk membandingkan sikap, pendapat dan kemampuannya dengan individu-individu lainnya.
Dalam pandangan teori perbandingan sosial ini, tekanan seseorang untuk berkomunikasi dengan anggota kelompok lainnya akan mengalami peningkatan, jika muncul ketidak setujuan yang berkaitan dngan suatu kejadian atau peristiwa, kalau tingkat kepentingannya peristiwa tersebut meningkat dan apabila hubungan dalam kelompok (group cohesivenes) juga menunjukkan peningkatan. Selain itu, setelah suatu keputusan kelompok dibuat, para anggota kelompok akan saling berkomunikasi untuk mendapatkan informasi yang mendukung atau membuat individu-individu dalam kelompok lebih merasa senang dengan keputusan yang dibuat tersebut.
Sebagai tambahan catatan, teori perbandingan sosial ini diupayakan untuk dapat menjelaskan bagaimana tindak komunikasi dari para anggota kelompok mengalami peningkatan atau penuruanan.
2. Perbandingan Sosial dan Identitas sosial
Identitas sosial sebagai teori tidak bisa lepas dari keinginan individu untuk memperbandingkan dirinya serta kelompoknya dengan yang lain. Perbandingan sosial digambarkan oleh Festinger (1954) sebagai teori di mana bisa membimbing kita untuk membandingkan diri kita dengan yang lain, siapa yang serupa dengan kita dan siapa yang berbeda, siapa yang berada di atas dan siapa yang berada di bawah. Setidaknya ada tiga variabel yang mempengaruhi hubungan pembedaan antar kelompok dalam situasi sosial yang nyata (Tajfel, 1974; Turner, 1975; dalam Hogg & Abrams, 2000). Pertama, individu pasti memiliki internalisasi kelompok mereka sebagai konsep diri mereka: secara subjektif mereka pasti menidentifikasikan kelompok yang relevan. Hal ini tidak cukup dari orang lain saja yang mengidentifikasikan seseorang kalau dari kelompok mana dia berasal. Kedua, situasi sosial akan menciptakan perbandingan sosial yang memungkinkan terjadinya seleksi dan evaluasi atribut relasi yang relevan. Perbedaan kelompok pada tiap-tiap daerah tidak sama secara sikinifikan. Misalnya saja, di Amerika perbedaan kelompok lebih cenderung menonjol pada perbedaan warna kulit, tapi perbedaan warna kulit bukan sesuatu yang menonjol di Hongkong. Ketiga, in-group tidak membandingkan dirinya pada tiap proses kognitif yang ada pada out-group: out-group pastinya dipersepsikan sebagai kelompok perbandingan yang relevan baik dalam kesamaan, kedekatan, dan secara situasional menonjol. Kemudian, Determinasi out-group dihasilkan sebagai perbandingan terhadap determinasi in-group.
Menurut Sarben & Allen (1968), identitas sosial juga berfungsi sebagai pengacu keberadaan posisi seseorang berada di mana dia. Berada di tingkatan mana kita berada, posisi seperti apa saja yang keberadaannya sama dengan kita dan mana juga yang berbeda. Teori identitas sosial melihat bahwa suatu identitas sosial selalu mengklarifikasikan dirinya melalui perbandingan, tapi secara umumnya, perbandigannya adalah antara in-groups dan out-groups. In-groups biasanya secara stereotype positif sifatnya, selalu lebih baik dibandingkan out-groups.
3. Perbandingan sosial dan prasangka sosial
Kita selalu membandingkan diri kita dengan orang lain dan kelompok kita dengan kelompok lain. Hal-hal yang dibandingkan hampir semua yang kita miliki, mulai dari status sosial, status ekonomi, kecantikan, karakter kepribadian dan sebagainya. Konsekuensi dari pembandingan adalah adanya penilaian sesuatu lebih baik atau lebih buruk dari yang lain. Melalui perbandingan sosial kita juga menyadari posisi kita di mata orang lain dan masyarakat. Kesadaran akan posisi ini tidak akan melahirkan prasangka bila kita menilai orang lain relatif memiliki posisi yang sama dengan kita. Prasangka terlahir ketika orang menilai adanya perbedaan yang mencolok. Artinya keadaan status yang tidak seimbanglah yang akan melahirkan prasangka (Myers, 1999). Dalam masyarakat yang perbedaan kekayaan anggotanya begitu tajam prasangka cenderung sangat kuat. Sebaliknya bila status sosial ekonomi relatif setara prasangka yang ada kurang kuat.
C. Contoh Perbandingan Sosial dalam Kehidupan
1. Perbandingan sosial dalam fenomena mengantri
Dalam penelitiannya, Zhou dan Soman, melihat adanya kesempatan diantara para pengantri, untuk melakukan perbandingan sosial posisinya, dengan mereka yang ada dalam antrian yang sama. Setiap pengantri, akan merasakan mereka berada dalam situasi krisis, atau menghadapi masalah yang harus dipecahkan. Perasaan harga diri dalam situasi semacam itu, ternyata dapat kembali ditegakkan, jika mereka dapat membandingkan diri dengan posisi pengantri lain yang lebih buruk. Jadi para pengantri, bukan hanya menghitung berapa orang lagi yang ada di depan, melainkan juga berapa orang yang juga masih antri di belakang.
Antri, ternyata memprovokasi penarikan perbandingan sosial. Karena dalam antrian, akan terlihat dengan jelas, siapa yang memiliki posisi lebih baik dan siapa lebih buruk. Manusia selalu cenderung membandingkan, dimana posisinya, dengan melihat mereka yang posisi sosialnya berada atas dan di bawah. Sama seperti antrian, siapa posisinya di depan dan siapa di belakang. Penelitian Prof. Zhuo dan Prof. Soman menunjukkan, perbandingan posisi ini berlaku, jika antrian klasik terbentuk, yakni masing-masing pengantri berdisi pada posisi berbaris ke belakang. Jika antrian diatur dengan nomor, seperti di ruang tunggu dokter atau di rumah sakit, fenomena perbandingan posisi sosial tidak muncul.
2. Perbandingan Sosial dalam Performance Appraisals (PA)
Dalam dunia industri (pekerjaan), perbandingan sosial pun memiliki porsinya. Salah satunya adalah dalam proses evaluasi tenaga kerja. Proses evaluasi tenaga kerja dengan memperhatikan produktivitasnya disebut sebagai penilaian karya atau performance appraisal (pa). Tujuannya adalah digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam penempatan, baik promosi, mutasi, maupun demosi juga untuk penentuan penggajian serta kebutuhan pelatihan. Penilaian karya atau kinerja dapat dievaluasi dengan produktivitas secara kuantitatif maupun subyektif. Produktivitas kuantitatif yang dapat diukur seperi misalnya, target barang yang dipasarkan oleh seorang sales atau jumlah pasien sehari yang didapat oleh seorang dokter. Sedangkan produktivitas kerja subyektif adalah penilaian sikap dan perilaku kerja dari rekan sejawat, atasan, bawahan maupun stake holder, seperti misalnya kerjasama yang dimiliki oleh tenaga kerja.
Penilaian karya secara konvensional hanya dilakukan oleh atasan kepada bawahan menyangkut penilaian subyektif sehingga kurang menekankan pada penilaian kuantitatif produktivitasnya. Beberapa permasalahan PA sehingga tidak mampu obyektif karena pengaruh hallo effect, yaitu kesalahan penilai karena tidak mampu membedakan antara kepentingan pribadi dengan proporsi bidang tugas. Akibatnya, atasan hanya menilai bawahan berdasarkan hubungan emosional yang digunakan dalam memberikan standarisasi penilaian. Permasalahan lainnya adalah contrast effect, yakni standar nilai yang kontras diberikan kepada individu yang berbeda hanya karena penilai terlalu berorientasi kepada kelebihan seorang saja. Kondisi ini disebabkan oleh social comparison (perbandingan sosial) yang terlalu ekstrim kepada individu yang berbeda.