Monday, November 9, 2009

makalah sosial comparation

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Kita selalu membandingkan diri kita dengan orang lain dan kelompok kita dan kelompok lain. Hal-hal yang dibandingkan hampir semua yang kita miliki, mulai dari status sosial, status ekonomi, kecantikan, karakter kepribadian dan sebagainya. Konsekuensi dari pembandingan adalah adanya penilaian sesuatu lebih baik atau lebih buruk dari yang lain. Melalui perbandingan sosial kita juga menyadari posisi kita di mata orang lain dan masyarakat. Kesadaran akan posisi ini tidak akan melahirkan prasangka bila kita menilai orang lain relatif memiliki posisi yang sama dengan kita. Prasangka lahir ketika orang menilai adanya perbedaan yang mencolok. Artinya keadaan status yang tidak seimbanglah yang akan melahirkan prasangka (Myers, 1999). Dengan masyarakat yang perbedaan kekayaan anggotanya begitu tajam prasangka cenderung sangat kuat. Sebaliknya bila status sosial ekonomi relatif setara prasangka yang ada kurang kuat.
Para sosiolog menyebutkan bahwa prasangka dan diskriminasi adalah hasil dari stratifikasi sosial yang didasarkan distribusi kekuasaan, status, dan kekayaan yang tidak seimbang di antara kelompok-kelompok yang bertentangan (Manger, 1991). Dalam masyarakat yang terstruktur dalam stratifikasi yang ketat, kelompok dominan dapat menggunakan kekuasaan mereka untuk memaksakan ideologi yang menjustifikasi praktek diskriminasi untuk mempertahankan posisi menguntungkan mereka dalam kelompok sosial. Hal ini membuat kelompok dominan berprasangka terhadap pihak-pihak yang dinilai bisa menggoyahkan hegemoni mereka. Sementara itu kelompok yang didominasi pun berprasangka terhadap kelompok dominan karena kecemasan akan dieksploitasi. Bertolak dari itu semua, maka dirasa sangat perlu bagi kita untuk mempelajari lebih jauh mengenai teori perbandingan sosial pada diri individu dan masyarakat.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam pembahasan Perbandingan Sosial meliputi:
1. Apa yang dimaksud dengan Teori Perbandingan Sosial?
2. Bagaimanakah kecenderungan perilaku individu dalam analisis Teori Perbandingan Sosial?
3. Bagaimanakah menyikapi fenomena-fenomena yang berkaitan dengan Teori Perbandingan Sosial?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memahami lebih jauh teori Perbandingan Sosial yang banyak terjadi di masyarakat.
Adapun manfaat yang diharapkan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Mengenal lebih jauh mengenai teori Perbandinga Sosial (Social Comparison)
2. Memahami kecenderungan individu atau masyarakat dalam perilakunya dari sudut pandang Teori Perbandingan Social
3. Mengembangkan sikap yang sehat dalam menghadapi fenomena perbandingan sosial.
D. Metodologi Penulisan
Metodologi yang digunakan oleh penulis untuk meneliti adalah dengan mangadakan studi literatur terhadap buku-buku dan artikel-artikel yang menjadi sumber rujukan dalam penulisan makalah ini.




BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Perbandingan Sosial (Social Comparison)
Masing-masing orang memiliki konsep diri yang berbeda-beda sehingga menyebakan dirinya melakukan perbandingan diri dengan orang lain. Gejala ini disebut sebagai perbandingan sosial. Perbandingan sosial terjadi manakala orang merasa tidak pasti mengenai kemampuan pendapatnya maka meraka akan mengevaluasi diri mereka melalui perbandingan orang lain yang sama. Perbandingan sosial merupakan proses otomatis dan spontan terjadi. Umumnya motif yang dilakukan manusia dalam melakukan perbandingan sosial adalah untuk mengevaluasi diri sendiri, memperbaiki diri sendiri dan meningkatkan diri sendiri.
Manusia dalam melakukan perbandingan sosial berlaku dalil umum sebagai berikut :
• Persamaan (similarity hypothesis) : artinya manusia melakukan perbandingan dengan orang-orang yang sama dengan dirinya (laterla comparison) atau yang sedikit lebih baik dan umumnya manusia tersebut berjuang untuk menjadi lebih baik.
• Dikaitkan dengam atribut (related atribut hypothesis) : artinya manusia melakukan perbandingan dengan melihat usia, etnis dan jenis kelamin yang sama
• Downward comparison : manusia kadang membandingkan dirinya dengan orang yang lebih buruk dari dirinya. Umumnya ini dilakukan untuk mencari perasaan yang lebih baik atau mengabsahkan diri sendiri (self validating). Disini muncul dalil bahwa manusia kadang tidak objektif dalam melakukan perbandingan sosial
Teori Sosial Comparison (Dorian & Garfinkel, 2002) menyatakan bahwa setiap orang akan melakukan perbandingan antara keadaan dirinya sendiri dengan keadaan orang-orang lain yang mereka anggap sebagai pembanding yang realistis. Perbandingan sosial semacam ini terlibat dalam proses evaluasi diri seseorang, dan dalam melakukannya seseorang akan lebih mengandalkan penilaian subyektifnya dibandingkan penilaian obyektif. Bila masyarakat terlanjur membentuk pandangan bahwa penampilan fisik yang ideal itu adalah seperti yang dimiliki para model yang ditampilkan dalam media massa, maka akan ada kecenderungan bahwa individu akan membandingkan dirinya berdasarkan standar yang tidak realistis. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa orang-orang yang sebenarnya memiliki proporsi tinggi badan serta berat badan yang normal mungkin saja memiliki penilaian yang negatif mengenai tubuhnya karena menggunakan tubuh model-model yang dilihatnya di media masa sebagai pembanding (Vilegas & Tinsley, 2003). Sampai batas tertentu, proses berpikir kritis terhadap diri sendiri memang akan membantu seseorang untuk menilai dirinya sendiri secara sehat dan untuk beradaptasi dengan lingkungannya.
Festinger (Sarwono, 2004) menyebutkan bahwa teori perbandingan sosial adalah proses saling mempengaruhi dan perilaku saling bersaing dalam interakso sosial ditimbulkan oleh adanya kebutuhan untuk menilai diri sendiri (self-evaluation) dan kebutuhan ini dapat dipenuhi dengan membandingkan diri dengan orang lain.
Ada dua hal yang diperbandingkan dalam hubungan ini, yaitu:
a. Pendapat (opinion)
b. Kemampuan (ability)
Perubahan pendapat relatif lebih mudah terjadi daripada perubahan kemampuan.
1. Dorongan untuk menilai pendapat dan kemampuan
Festinger mempunyai hipotesis bahwa setiap orang mempunyai dorongan (drive) untuk menilai pendapat dan kemampuannya sendiri dengan cara membandingkannya dengan pendapat dan kemampuan orang lain. Dengan cara itulah orang bisa mengetahui bahwa pendapatnya benar atau tidak dan seberapa jauh kemampuan yang dimilikinya (Sarwono, 2004).
Festinger juga memperingatkan bahwa dalam menilai kemampuan, ada dua macam situasi, yaitu: Pertama, kemampuan orang dinilai berdasarkan ukuran yang obyektif, misalnya kemampuan mengangkat barbel. Kedua, kemampuan dinilai berdasarkan pendapat. Misalnya, untuk menilai kemampuan pelukis berdasarkan pendapat orang lain.
2. Sumber-sumber penilaian
Orang akan mengagungkan ukuran-ukuran yang obyektif sebagai dasar penilaian selama ada kemungkinan melakukan itu. Namun, jika tidak, maka orang akan menggunakan pendapat atau kemampuan orang lain sebagai ukuran.
3. Memilih orang untuk membandingkan
Dalam membuat perbandingan dengan orang lain, setiap orang mempunyai banyak pilihan. Namun, setiap orang cenderung memilih orang sebaya atau rekan sendiri untuk dijadikan perbandingan.
Festinger mempunyai hipotesis mengenai hal ini yaitu: kecenderungan untuk membandingkan diri dengan orang lain menurun jika perbedaan pendapat atau kemampuan dengan orang lain itu meningkat. Dari hipotesisnya itu, terdapat dua hipotesis ikutan (corollary), yaitu:
a. Kalau ia boleh memilih, seseorang akan memilih orang yang pendapat atau kemampuannya mendekati pendapat atau kemampuannya sendiri untuk dijadikan pembanding.
b. Jika tidak ada kemungkinan lain kecuali membandingkan diri dengan pendapat atau kemampuan orang lain yang jauh berbeda, maka seseorang tidak akan mampu membuat penilaian yang tepat tentang pendapat atau kemampuannya sendiri.
Dengan menggunakan beberapa hipotesisnya selanjutnya Festinger menarik beberapa kesimpulan (derivasi) untuk tujuan peramalan tingkah laku:
Derivasi A: penilaian orang terhadap dirinya akan mantap (stabil) jika ada orang lain yang pendapat atau kemampuannya mirip dengan dirinya untuk dijadikan pembanding.
Derivasi B: penilaian cenderung akan berubah jika kelompok pembanding yang ada mempunyai pendapat atau kemampuan yang jauh berbeda daripada pendapat atau kemampuan sendiri.
Derivasi C: orang akan kurang tertarik pada situasi-situasi di mana orang lain mempunyai pendapat atau kemampuan yang berbeda dari dirinya sendiri dan akan lebih tertarik pada situasi di mana orang lain mempunyai pendapat atau kemampuan yang hampir sama dengan dirinya sendiri. Dengan perkataan lain, orang akan lebih tertarik pada kelompok yang memberi peluang lebih banyak untuk melakukan perbandingan.
Derivasi D: perbedaan besar dalam suatu kelompok dalam hal pendapat atau kemampuan akan menimbulkan tindakan untuk mengurangi perbedaan itu.
4. Faktor-faktor yang memengaruhi perubahan
Seperti yang telah dikatakan di atas, terdapat perbedaan antara kemampuan dan pendapat, pada kemampuan ada desakan untuk berubah ke satu arah, yaitu ke arah kemampuan yang lebih tinggi atau baik sedangkan dalam hal pendapat terdapat keleluasaan untuk terjadinya perubahan ke segala arah.
Atas dasar itu, Festinger mengajukan hipotesis berikutnya, yaitu dalam hal kemampuan terdapat desakan untuk berubah searah yaitu berubah ke atas yang tidak terdapat dalam hal perbedaan pendapat. Hipotesis ini menurut Festinger setidaknya berlaku untuk masyarakat seperti di Amerika Serikat, di mana prestasi yang tinggi sangat dihargai. Dengan kata lain, di lingkungan masyarakat lain di mana prestasi yang tinggi tidak mendapat penghargaan yang tinggi, hipotesis ini belum tentu berlaku.
Hipotesis berikutnya yang dikemukakan Festinger didasarkan pada perbedaan antara kemampuan dan pendapat tersebut adalah: ada faktor-faktor nonsosial ang menyulitkan atau tidak memungkinkan perubahan kemampuan pada seseorang, yang hampir-hampir tidak ada pada perubahan pendapat. Misalnya orang badannya lemah bisa saja berpendapat bahwa ia bisa mengangkat barbel seberat 100 kg. Tetapi kenyataanya ia tetap saja tidak dapat mengangkat barbel tersebut. Lain halnya jika seseorang merasa pendapatnya salah, maka dengan mudah ia mengubah pendapatnya tersebut.
5. Berhentinya perbandingan
Jika kita melihat Derivasi D di atas, yaitu perbedaan besar dalam suatu kelompok dalam hal pendapat atau kemampuan akan menimbulkan tindakan untuk mengurangi perbedaan itu. Maka akan muncul beberapa kesimpulan lagi, salah satunya adalah jika perbedaan pendapat atau kemampuan dengan orang lain dalam kelompok terlalu besar, maka akan terdapat kecenderungan untuk menghentikan perbandingan-perbandingan.
Konsekuensi pengehentian perbandingan ini berbeda antara pendapat dan kemampuan, karena perbedaan pendapat seseorang dari kelompok berarti pendapat orang itu tidak benar, sedangkan konotasi negatif seperti itu tidak selalu terdapat pada perbedaan kemampuan.
Mengenai hal ini, Festinger mengemukakan hipotesis bahwa sejauh perbandingan yang berkepanjangan dengan orang lain menimbulkan konsekuensi yang tidak menyenangkan, penghentian perbandingan akan diikuti oleh perasaan bermusuhan dan kebencian. Hipotesis ini pun memiliki hipotesis ikutan yang menyatakan bahwa penghentian perbandingan akan diikuti oleh perasaan bermusuhan atau kebencian hanya dalam hal perbedaan pendapat, tidak dalam hal perbedaan kemampuan.
6. Desakan ke arah keseragaman
Setiap faktor yang meningkatkan dorongan untuk membandingkan pendapat atau kemampuan dengan sendirinya juga akan merupakan faktor yang mendesak ke arah tercapainya keseragaman pendapat atau kemampuan yang bersangkutan. Atau dengan kata lain bahwa setiap faktor yang meningkatkan pentingnya suatu kelompok sebagai kelompok pembanding untuk suatu pendapat atau kemampuan akan merupakan faktor yang meningkatkan desakan ke arah keseragaman dalam hal pendapat atau kemampuan tersebut.
Desakan ke arah keseragaman pendapat atau kemampuan tergantung dari daya tarik kelompok itu. Semakin menarik kelompok itu bagi seseorang, semakin penting arti kelompok itu sebagai pembanding dan semakin kuat pula desakan pada orang itu untuk mengurangi perbedaan antara dirinya sendiri dengan kelompok. Hal tersebut terlihat dalam perilaku-perilaku sebagai berikut:
a. kecenderungan untuk mengubah pendapat sendiri
b. usaha yang semakin meningkat untuk mengubah pendapat orang lain
c. kecenderungan yang meningkat untuk membuat orang lain kurang senang
Jika ada berbagai pendapat atau kemampuan dalam kelompok, manifestasi dari kekuatan desakan ke arah keseragaman berbeda-beda antara orang yang ada di dekat pendapat umum kelompok (modus pendapat kelompok) dengan orang yang jauh dari modus pendapat. Khususnya orang yang dekat dengan modus pendapat kelompok, mempunyai kekuatan yang lebih besar untuk mengubah posisi pendapat atau kemampuan orang lain, relatif lebih lemah kecenderungannya untuk memperkecil kemungkinan perbandingan dan sangat lemah kecenderungannya untuk mengubah posisinya sendiri jika dibandingkan dengan orang yang jauh dari modus pendapat kelompok.
7. Pengaruhnya terhadap pembentukan kelompok
Dorongan untuk menilai diri sendiri mempunyai pengaruh yang penting terhadap pembentukan kelompok dan perubahan keanggotaan kelompok:
a. Karena perbandingan hanya bisa terjadi dalam kelompok, maka untuk menilai diri sendiri orang terdorong untuk berkelompok dan menghubungkan dirinya sendiri dengan orang lain.
b. Kalompok yang paling memuaskan adalah yang pendapatnya paling dekat dengan pendapat sendiri. Oleh karena itu, orang lebih tertarik pada kelmpok yang pendapatnya sama dengan pendapat sendiri dan cenderung menjauhi kelompok-kelompok yang pendapatnya berbeda dari pendapat sendiri.
8. Konsekuensi-konsekuensi dari perbandingan yang dipaksakan
Jika perbedaan-perbedaan pendapat atau kemampuan dalam kelompok terlalu besar, maka kelompok akan mengatur dirinya sedemikian rupa sehingga perbedaan itu dapat didekatkan dan perbandingan dapat dilakukan.
Akan tetapi, Festinger mengatakan bahwa ada dua situasi di mana hal tersebut tidak terjadi, yaitu di mana perbedaan tetap besar, tetapi perbandingan tetap harus dilakukan. Kedua situasi tersebut adalah:
a. Situasi di mana kelompok itu sangat menarik bagi seseorang sehingga orang itu tetap saja ikut dalam kelompok walaupun pendapat atau kemampuannya cukup jauh berbeda dari pendapat atau kemampuan kelompok.
b. Situasi di mana individu terpaksa harus ikut terus dengan kelompok karena tidak ada kemungkinan lain, misalnya orang yang dipenjara, atau harus tetap bekerja walaupun tidak suka pada perusahaan tempatnya bekerja. Dalam hal ini pengaruh kelompok terhadap individu lemah dan keseragaman pendapat hanya dapat dicapai melalui paksaan atau kekerasan.

B. Kaitan Teori Perbandingan Sosial dengan Teori Sosial Lain
1. Teori Perbandingan sosial dalam komunikasi kelompok
Teori atau pendekatan perbandingan sosial mengemukakan bahwa tindak komunikasi dalam kelompok berlangsung karena adanya kebutuhan-kebutuhan dari individu untuk membandingkan sikap, pendapat dan kemampuannya dengan individu-individu lainnya.
Dalam pandangan teori perbandingan sosial ini, tekanan seseorang untuk berkomunikasi dengan anggota kelompok lainnya akan mengalami peningkatan, jika muncul ketidak setujuan yang berkaitan dngan suatu kejadian atau peristiwa, kalau tingkat kepentingannya peristiwa tersebut meningkat dan apabila hubungan dalam kelompok (group cohesivenes) juga menunjukkan peningkatan. Selain itu, setelah suatu keputusan kelompok dibuat, para anggota kelompok akan saling berkomunikasi untuk mendapatkan informasi yang mendukung atau membuat individu-individu dalam kelompok lebih merasa senang dengan keputusan yang dibuat tersebut.
Sebagai tambahan catatan, teori perbandingan sosial ini diupayakan untuk dapat menjelaskan bagaimana tindak komunikasi dari para anggota kelompok mengalami peningkatan atau penuruanan.
2. Perbandingan Sosial dan Identitas sosial
Identitas sosial sebagai teori tidak bisa lepas dari keinginan individu untuk memperbandingkan dirinya serta kelompoknya dengan yang lain. Perbandingan sosial digambarkan oleh Festinger (1954) sebagai teori di mana bisa membimbing kita untuk membandingkan diri kita dengan yang lain, siapa yang serupa dengan kita dan siapa yang berbeda, siapa yang berada di atas dan siapa yang berada di bawah. Setidaknya ada tiga variabel yang mempengaruhi hubungan pembedaan antar kelompok dalam situasi sosial yang nyata (Tajfel, 1974; Turner, 1975; dalam Hogg & Abrams, 2000). Pertama, individu pasti memiliki internalisasi kelompok mereka sebagai konsep diri mereka: secara subjektif mereka pasti menidentifikasikan kelompok yang relevan. Hal ini tidak cukup dari orang lain saja yang mengidentifikasikan seseorang kalau dari kelompok mana dia berasal. Kedua, situasi sosial akan menciptakan perbandingan sosial yang memungkinkan terjadinya seleksi dan evaluasi atribut relasi yang relevan. Perbedaan kelompok pada tiap-tiap daerah tidak sama secara sikinifikan. Misalnya saja, di Amerika perbedaan kelompok lebih cenderung menonjol pada perbedaan warna kulit, tapi perbedaan warna kulit bukan sesuatu yang menonjol di Hongkong. Ketiga, in-group tidak membandingkan dirinya pada tiap proses kognitif yang ada pada out-group: out-group pastinya dipersepsikan sebagai kelompok perbandingan yang relevan baik dalam kesamaan, kedekatan, dan secara situasional menonjol. Kemudian, Determinasi out-group dihasilkan sebagai perbandingan terhadap determinasi in-group.
Menurut Sarben & Allen (1968), identitas sosial juga berfungsi sebagai pengacu keberadaan posisi seseorang berada di mana dia. Berada di tingkatan mana kita berada, posisi seperti apa saja yang keberadaannya sama dengan kita dan mana juga yang berbeda. Teori identitas sosial melihat bahwa suatu identitas sosial selalu mengklarifikasikan dirinya melalui perbandingan, tapi secara umumnya, perbandigannya adalah antara in-groups dan out-groups. In-groups biasanya secara stereotype positif sifatnya, selalu lebih baik dibandingkan out-groups.
3. Perbandingan sosial dan prasangka sosial
Kita selalu membandingkan diri kita dengan orang lain dan kelompok kita dengan kelompok lain. Hal-hal yang dibandingkan hampir semua yang kita miliki, mulai dari status sosial, status ekonomi, kecantikan, karakter kepribadian dan sebagainya. Konsekuensi dari pembandingan adalah adanya penilaian sesuatu lebih baik atau lebih buruk dari yang lain. Melalui perbandingan sosial kita juga menyadari posisi kita di mata orang lain dan masyarakat. Kesadaran akan posisi ini tidak akan melahirkan prasangka bila kita menilai orang lain relatif memiliki posisi yang sama dengan kita. Prasangka terlahir ketika orang menilai adanya perbedaan yang mencolok. Artinya keadaan status yang tidak seimbanglah yang akan melahirkan prasangka (Myers, 1999). Dalam masyarakat yang perbedaan kekayaan anggotanya begitu tajam prasangka cenderung sangat kuat. Sebaliknya bila status sosial ekonomi relatif setara prasangka yang ada kurang kuat.
C. Contoh Perbandingan Sosial dalam Kehidupan
1. Perbandingan sosial dalam fenomena mengantri
Dalam penelitiannya, Zhou dan Soman, melihat adanya kesempatan diantara para pengantri, untuk melakukan perbandingan sosial posisinya, dengan mereka yang ada dalam antrian yang sama. Setiap pengantri, akan merasakan mereka berada dalam situasi krisis, atau menghadapi masalah yang harus dipecahkan. Perasaan harga diri dalam situasi semacam itu, ternyata dapat kembali ditegakkan, jika mereka dapat membandingkan diri dengan posisi pengantri lain yang lebih buruk. Jadi para pengantri, bukan hanya menghitung berapa orang lagi yang ada di depan, melainkan juga berapa orang yang juga masih antri di belakang.
Antri, ternyata memprovokasi penarikan perbandingan sosial. Karena dalam antrian, akan terlihat dengan jelas, siapa yang memiliki posisi lebih baik dan siapa lebih buruk. Manusia selalu cenderung membandingkan, dimana posisinya, dengan melihat mereka yang posisi sosialnya berada atas dan di bawah. Sama seperti antrian, siapa posisinya di depan dan siapa di belakang. Penelitian Prof. Zhuo dan Prof. Soman menunjukkan, perbandingan posisi ini berlaku, jika antrian klasik terbentuk, yakni masing-masing pengantri berdisi pada posisi berbaris ke belakang. Jika antrian diatur dengan nomor, seperti di ruang tunggu dokter atau di rumah sakit, fenomena perbandingan posisi sosial tidak muncul.
2. Perbandingan Sosial dalam Performance Appraisals (PA)
Dalam dunia industri (pekerjaan), perbandingan sosial pun memiliki porsinya. Salah satunya adalah dalam proses evaluasi tenaga kerja. Proses evaluasi tenaga kerja dengan memperhatikan produktivitasnya disebut sebagai penilaian karya atau performance appraisal (pa). Tujuannya adalah digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam penempatan, baik promosi, mutasi, maupun demosi juga untuk penentuan penggajian serta kebutuhan pelatihan. Penilaian karya atau kinerja dapat dievaluasi dengan produktivitas secara kuantitatif maupun subyektif. Produktivitas kuantitatif yang dapat diukur seperi misalnya, target barang yang dipasarkan oleh seorang sales atau jumlah pasien sehari yang didapat oleh seorang dokter. Sedangkan produktivitas kerja subyektif adalah penilaian sikap dan perilaku kerja dari rekan sejawat, atasan, bawahan maupun stake holder, seperti misalnya kerjasama yang dimiliki oleh tenaga kerja.
Penilaian karya secara konvensional hanya dilakukan oleh atasan kepada bawahan menyangkut penilaian subyektif sehingga kurang menekankan pada penilaian kuantitatif produktivitasnya. Beberapa permasalahan PA sehingga tidak mampu obyektif karena pengaruh hallo effect, yaitu kesalahan penilai karena tidak mampu membedakan antara kepentingan pribadi dengan proporsi bidang tugas. Akibatnya, atasan hanya menilai bawahan berdasarkan hubungan emosional yang digunakan dalam memberikan standarisasi penilaian. Permasalahan lainnya adalah contrast effect, yakni standar nilai yang kontras diberikan kepada individu yang berbeda hanya karena penilai terlalu berorientasi kepada kelebihan seorang saja. Kondisi ini disebabkan oleh social comparison (perbandingan sosial) yang terlalu ekstrim kepada individu yang berbeda.

makalah pobia dan takut sekolah yang dialami psikologi perkembangan anak.

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
    Belakangan ini banyak orang tua yang bingung menghadapi perubahan sikap anaknya yang tiba-tiba mogok tidak mau sekolah dengan berbagai alasan, mulai dari sakit perut, sakit kepala, sakit kaki dan seribu alasan lainnya. Bagi orangtua yang anaknya masih kecil, pemogokkan ini tentu bikin pusing karena menimbulkan kebingungan apakah alasan tersebut benar atau hanya dibuat-buat. Orangtua menjadi bingung: memaksa anak untuk tetap berangkat sekolah takut nanti anaknya menjadi stress; atau kalau ternyata benar apa yang dikemukakan anak, lantas bagaimana harus bersikap?

    Sementara itu problem yang hampir sama dialami orangtua yang bingung menghadapi penolakan anaknya yang sudah waktunya bersekolah tapi masih saja belum mau masuk sekolah. Menghadapi kenyataan dan kondisi di atas, apa yang sebaiknya dilakukan orangtua agar kendali pendidikan dan pengasuhan anak tetap berada di pundak mereka sehingga tidak terjadi hal-hal negatif yang dapat merugikan perkembangan fisik dan mental anak di masa yang akan datang. Dalam makalah ini kami mencoba untuk mengulas apa yang dimaksud dengan fobia sekolah (mogok atau tidak mau ke sekolah), apa faktor penyebabnya dan bagaimana orangtua harus menyiasati kondisi ini.


B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian Fobia secara umum?
2. Apakah pengertian Fobia Sekolah ?
3. Apakah penyebab Fobia Sekolah ?
4. Berapa lama biasanya anak mengalami Fobia Sekolah ?
5. Bagaimana tanda-tanda anak yang mengalami Fobia Sekolah ?
C . Tujuan Makalah
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini antara lain :
o Mendeskripsikan mengenai anak yang mengidap fobia sekolah.
o Memahami bagaimana ciri –ciri anak yang mengidap fobia sekolah .
o Membantu menangani anak yang fobia terhadap sekolah.




BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Fobia

    Phobia adalah ketakutan yang berlebih-lebihan terhadap benda-benda atau situasi-situasi tertentu yang seringkali tidak beralasan dan tidak berdasar pada kenyataan. Istilah “phobia” berasal dari kata “phobi” yang artinya ketakutan atau kecemasan yang sifatnya tidak rasional; yang dirasakan dan dialami oleh sesorang.  Phobia merupakan suatu gangguan yang ditandai oleh ketakutan yang menetap dan tidak rasional terhadap suatu obyek atau situasi tertentu.

    Walaupun ada ratusan macam phobia tetapi pada dasarnya phobia-phobia tersebut merupakan bagian dari 3 jenis phobia, yang menurut buku DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual for Mental Disorder IV) ketiga jenis phobia itu adalah:
1. Phobia sederhana atau spesifik (Phobia terhadap suatu obyek/keadaan tertentu) seperti pada binatang, tempat tertutup, ketinggian, dan lain lain.
2. Phobia sosial (Phobia terhadap pemaparan situasi sosial) seperti takut jadi pusat perhatian, orang seperti ini senang menghindari tempat-tempat ramai.
3. Phobia kompleks (Phobia terhadap tempat atau situasi ramai dan terbuka misalnya di kendaraan umum/mall) orang seperti ini bisa saja takut keluar rumah.

B. Pengertian Fobia Sekolah

    Kata “fobia” menurut Baker Encyclopedia of Psychology and Counseling adalah suatu gangguan, yaitu gangguan ketakutan yang tidak rasional atau irrational fear dari obyek-obyek atau situasi-situasi yang tidak berbahaya. Secara singkat Ivan Ward dalam buku yang berjudul Phobia mendefinisikan bahwa fobia adalah sebagai ketakutan yang tidak masuk akal. Kearney dan Silverman (1996) mendefinisikan perilaku penolakan sekolah sebagai suatu motivasi anak untuk tidak hadir di sekolah atau tidak mau tinggal dalam kelas mengikuti semua pelajaran pada hari itu.
    Dengan demikian, anak ingin cepat-cepat pulang meninggalkan kelas. Anak mungkin mencari berbagai alasan seperti berbagai jenis keluhan somatik. Penolakan sekolah bukan merupakan suatu diagnosis klinis melainkan suatu gejala klinis dari berbagai gangguan jiwa tertentu misalnya gangguan cemas (sebagian besar), depresi, dan gangguan belajar. Fobia sekolah dapat sewaktu-waktu dialami oleh setiap anak hingga usianya 14 – 15 tahun, saat dirinya mulai bersekolah di sekolah baru atau menghadapi lingkungan baru atau pun ketika ia menghadapai suatu pengalaman yang tidak menyenangkan di sekolahnya.

C. Tingkatan dan Jenis Penolakan Terhadap Sekolah

     Para ahli menunjuk adanya beberapa tingkatan school refusal, mulai dari yang ringan hingga yang berat (fobia), yaitu:
1. Initial school refusal behavior
adalah sikap menolak sekolah yang berlangsung dalam waktu yang sangat singkat (seketika/ tiba-tiba) yang berakhir dengan sendirinya tanpa perlu penanganan.
2. Substantial school refusal behavior
adalah sikap penolakan yang berlangsung selama minimal 2 minggu.
3. Acute school refusal behavior
adalah sikap penolakan yang bisa berlangsung 2 minggu hingga 1 tahun, dan selama itu anak mengalami masalah setiap kali hendak berangkat sekolah
4. Chronic school refusal behavior
adalah sikap penolakan yang berlangsung lebih dari setahun, bahkan selama anak tersebut bersekolah di tempat itu.

D. Tanda-tanda Fobia Sekolah

Ada beberapa tanda yang dapat dijadikan sebagai kriteria fobia sekolah atau pun school refusal, yaitu:
• Menolak untuk berangkat ke sekolah.
• Mau datang ke sekolah, tetapi tidak lama kemudian minta pulang
• Pergi ke sekolah dengan menangis, menempel terus dengan mama/papa atau pengasuhnya, atau menunjukkan “tantrum”nya seperti menjerit-jerit di kelas, agresif terhadap anak lainnya (memukul, menggigit, dsb.) atau pun menunjukkan sikap-sikap melawan/menentang gurunya
• Menunjukkan ekspresi/ raut wajah sedemikian rupa untuk meminta belas kasih guru agar diijinkan pulang – dan ini berlangsung selama periode tertentu.
• Tidak masuk sekolah selama beberapa hari.
• Keluhan fisik yang sering dijadikan alasan seperti sakit perut, sakit kepala, pusing, mual, muntah-muntah, diare, gatal-gatal, gemetaran, keringatan, atau keluhan lainnya. Anak berharap dengan mengemukakan alasan sakit, maka ia diperbolehkan tinggal di rumah.
• Mengemukakan keluhan lain (di luar keluhan fisik) dengan tujuan tidak usah berangkat ke sekolah.
• Senang berdiam diri di dalam kamar dan kurang mau bergaul .

E. Waktu Berlangsungnya Fobia Sekolah

    Berapa lama waktu berlangsungnya fobia sekolah amat tergantung pada penanganan yang dilakukan oleh orangtua. Makin lama anak dibiarkan tidak masuk sekolah (tidak mendapat penanganan apapun), makin lama problem itu akan selesai dan makin sering/ intens keluhan yang dilontarkan anak.

    Namun, makin cepat ditangani, problem biasanya akan berangsur-angsur pulih dalam waktu sekitar 1 atau 2 minggu. Anak yang mengalami fobia sekolah selalu memiliki alasan untuk tidak masuk sekolah ,sehingga dalam hal ini orang tua khususnya harus jeli dalam memahami kebutuhan anaknya. Fobia sekolah perlu penanganan serius. Tujuan penanganan utama adalah segera kembali ke sekolah. Semakin lama tidak sekolah, semakin sulit untuk kembali

F. Faktor Penyebab Fobia Sekolah

    Ada beberapa penyebab yang membuat anak seringkali menjadi mogok sekolah. orangtua perlu bersikap hati-hati dan bijaksana dalam menyikapi sikap pemogokan itu, agar dapat memberikan penanganan yang benar-benar tepat. Alangkah baiknya, jika orangtua mau bersikap terbuka dalam mempelajari dan mencari semua kemungkinan yang bisa terjadi.
    
     Konsultasi dengan guru di sekolah, sharing dengan sesama orangtua murid, diskusi dengan anak, konsultasi dengan konselor/ psikolog, (kalau perlu) memeriksakan anak ke paramedis/ dokter sesuai keluhan yang dikemukakannya, hingga introspeksi diri – adalah metode yang tepat untuk mendapatkan gambaran penyebab dari fobia sekolah anak. Berhati-hatilah untuk membuat diagnosa secara subyektif, didasarkan pada pendapat pribadi diri sendiri atau keluhan anak semata. Di bawah ini ada beberapa penyebab fobia sekolah dan school refusal:

1. Separation Anxiety
Separation anxiety pada umumnya dialami anak-anak kecil usia balita (18 – 24 bulan). Kecemasan itu sebenarnya adalah fenomena yang normal. Anak yang lebih besar pun (preschooler, TK hingga awal SD) tidak luput dari separation anxiety. Bagi mereka, sekolah berarti pergi dari rumah untuk jangka waktu yang cukup lama. Mereka tidak hanya akan merasa rindu terhadap orangtua, rumah, atau pun mainannya – tapi mereka pun cemas menghadapi tantangan, pengalaman baru dan tekanan-tekanan yang dijumpai di luar rumah.

     Separation anxiety bisa saja dialami anak-anak yang berasal dari keluarga harmonis, hangat dan akrab yang amat dekat hubungannya dengan orangtua. Singkat kata, tidak ada masalah dengan orangtua. Orangtua mereka adalah orangtua yang baik dan peduli pada anak, dan mempunyai kelekatan yang baik. Namun tetap saja anak cemas pada saat sekolah tiba. Tanpa orangtua pahami, anak-anak sering mencemaskan orangtuanya. Mereka takut kalau-kalau orangtua mereka diculik, atau diserang monster atau mengalami kecelakaan sementara mereka tidak berada di dekat orangtua. Ketakutan itu tidak dibuat-buat, namun merupakan fenomena yang biasa hinggap pada anak-anak usia batita dan balita. Oleh sebab itu, mereka tidak ingin berpisah dari orangtua dan malah lengket-nempel terus pada mama-papanya. Peningkatan kecemasan menimbulkan rasa tidak nyaman pada tubuh mereka, dan ini lah yang sering dikeluhkan (perut sakit, mual, pusing, dsb.). Sejalan dengan perkembangan kognisi anak, ketakutan dan kecemasan yang bersifat irrasional itu akan memudar dengan sendirinya karena anak mulai bisa berpikir logis dan realistis. Separation anxiety bisa muncul kala anak selesai menjalani masa liburan panjang atau pun mengalami sakit serius hingga tidak bisa masuk sekolah dalam jangka waktu yang panjang. Selama di rumah atau liburan, kuantitas kedekatan dan interaksi antara orangtua dengan anak tentu saja lebih tinggi dari pada ketika masa sekolah. Situasi demikian, sudah tentu membuat anak nyaman dan aman. Pada waktu sekolah tiba, anak harus menghadapi ketidakpastian yang menimbulkan rasa cemas dan takut. Namun, dengan berjalannya waktu, anak yang memiliki rasa percaya diri, dapat perlahan-lahan beradaptasi dengan situasi sekolah.
Peneliti berpendapat, anak yang mempunyai rasa percaya diri yang rendah, berpotensi menjadi anak yang anxiety prone-children (anak yang memiliki kecenderungan mudah cemas) dan cenderung mudah mengalami depresi. Banyak orangtua yang tidak sadar bahwa sikap dan pola asuh yang diterapkan pada anak ikut menyumbang terbentuknya dependency (ketergantungan), rasa kurang percaya diri dan kekhawatiran yang berlebihan. Contohnya, sikap orangtua yang overprotective terhadap anak hingga tidak menumbuhkan rasa percaya diri keberanian dan kemandirian. Anak tidak pernah diperbolehkan, dibiarkan atau didorong untuk berani mandiri. Orangtua takut kalau-kalau anaknya kelelahan, terluka, jatuh, tersesat, sakit, dan berbagai alasan lainnya. Anak selalu berada dalam proteksi, pelayanan dan pengawalan melekat dari orangtua.
Akibatnya, anak akan tumbuh menjadi anak manja, selalu tergantung pada pelayanan dan bantuan orangtua, penakut, cengeng, dan tidak mampu memecahkan persoalannya sendiri. Banyak orangtua yang tanpa sadar membuat pola ketergantungan ini berlangsung terus-menerus agar mereka merasa selalu dibutuhkan (berarti, berguna) dan sekaligus menjadikan anak sebagai teman “abadi”. Padahal, dibalik ketergantungan sang anak terhadap orangtua, tersimpan kebutuhan dan ketergantungan orangtua pada “pengakuan” sang anak. Akibatnya, keduanya tidak dapat memisahkan diri saat anak harus mandiri dan sulit bertumbuh menjadi individu yang dewasa.

2. Pengalaman Negatif di Sekolah atau Lingkungan
Mungkin saja anak menolak ke sekolah karena dirinya kesal, takut dan malu setelah mendapat cemoohan, ejekan atau pun di”ganggu” teman-temannya di sekolah. Atau anak merasa malu karena tidak cantik, tidak kaya, gendut, kurus, hitam, atau takut gagal dan mendapat nilai buruk di sekolah.
Di samping itu, persepsi terhadap keberadaan guru yang galak, pilih kasih, atau “seram” membuat anak jadi takut dan cemas menghadapi guru dan mata pelajarannya. Atau, ada hal lain yang membuatnya cemas, seperti mobil jemputan yang tidak nyaman karena ngebut, perjalanan yang panjang dan melelahkan, takut pergi sendiri ke sekolah, takut sekolah setelah mendengar cerita seram di sekolah, takut menyeberang jalan, takut bertemu seseorang yang “menyeramkan” di perjalanan, takut diperas oleh kawanan anak nakal, atau takut melewati jalan yang sepi. Para ahli mengatakan, bahwa masalah-masalah tersebut sudah dapat menimbulkan stress dan kecemasan yang membuat anak menjadi moody, tegang, resah, dan mulai merengek tidak mau sekolah, ketika mulai mendekati waktu keberangkatan.
Masalahnya, tidak semua anak bisa menceritakan ketakutannya itu karena mereka sendiri terkadang masih sulit memahami, mengekspresikan dan memformulasikan perasaannya. Belum lagi jika mereka takut dimarahi orangtua karena dianggap alasannya itu mengada-ada dan tidak masuk akal. Dengan sibuknya orangtua, sementara anak-anak lebih banyak diurus oleh baby sitter atau mbak, makin membuat anak sulit menyalurkan perasaannya; dan akhirnya yang tampak adalah mogok sekolah, agresif, pemurung, kehilangan nafsu makan, keluhan-keluhan fisik, dan tanda-tanda lain seperti yang telah disebutkan di atas

3. Problem Dalam Keluarga
Penolakan terhadap sekolah bisa disebabkan oleh problem yang sedang dialami oleh orangtua atau pun keluarga secara keseluruhan. Misalnya, anak sering mendengar atau bahkan melihat pertengkaran yang terjadi antara papa-mamanya, tentu menimbulkan tekanan emosional yang mengganggu konsentrasi belajar. Anak merasa ikut bertanggung jawab atas kesedihan yang dialami orangtuanya, dan ingin melindungi, entah mamanya – atau papanya. Sakitnya salah seorang anggota keluarga, entah orangtua atau kakak/adik, juga dapat membuat anak enggan pergi ke sekolah. Anak takut jika terjadi sesuatu dengan keluarganya yang sakit ketika ia tidak ada di rumah.

4. Pola hubungan orangtua dan anak yang tidak sehat.
Yang dimaksud adalah sikap orangtua yang tidak dapat memperlakukan anak-anak sebagai pribadi yang seutuhnya. Orangtua cenderung overprotective, selalu mengatur, pilih kasih dan lain-lain. Atau sebaliknya, orangtua kurang peduli, terlalu sibuk dengan pekerjaan sendiri dan mengabaikan tanggung jawabnya dalam rumah tangga. Akibatnya, perkembangan kepribadian anak menjadi tidak sehat.
Beberapa gangguan yang menyebabkan fobia sekolah :
Gangguan cemas

Merupakan gangguan yang paling banyak dialami anak yang tidak mau bersekolah. Last dan Strauss (1990) menyatakan bahwa 43,4 persen kasus penolakan bersekolah dilatar belakangi rasa cemas. Sementara Bernstein (1990) melaporkan 60-80 persen kasus penolakan disebabkan oleh kecemasan perpisahan, diikuti gangguan cemas lainnya, antara lain; gangguan cemas menyeluruh, fobia sosial, fobia spesifik, gangguan panik, dan gangguan stres pascatrauma.
1. Gangguan cemas perpisahan. Merupakan suatu gangguan yang ditandai oleh adanya kecemasan berpisah dengan seseorang yang lekat dan dekat dengannya.
2. Gangguan cemas menyeluruh. Ditandai dengan adanya preokupasi akan masa depan atau kejadian-kejadian di masa lalu sehingga menimbulkan kecemasan pada diri anak yang prominen.
3. Gangguan panik. Anak akan menunjukkan adanya suatu serangan kecemasan yang hebat yang timbulnya spontan yang akan memebuat anak menjadi waswas akan timbulnya serangan serupa di masa mendatang. Akibatnya, anak tidak mau keluar rumah tanpa ditemani oleh orangtua.

Penyebab dari kasus penolakan bersekolah dikelompokkan menjadi 3:

Faktor dari dalam diri anak
1. Anak mengalami distress emosional tertentu seperti kecemasan, depresi atau kesulitan berhubungan dengan lingkungan, serta kesulitan belajar.
2. Anak memiliki temperamen sulit (difficult temperament) dan pemalu (slow to warm up temperament) lebih banyak menolak bersekolah dibanding dengan anak yang bertemperamen mudah (easy temperament).

Faktor yang berasal dari orangtua, terutama berkaitan dengan interaksi anak-orangtua.
1. Anak dengan temperamen sulit dan pemalu seringkali memiliki interaksi buruk dengan orangtuanya sehingga memicu kecemasan anak.
2. Anak yang memiliki orangtua dengan gangguan jiwa (depresi, panik) meningkatkan gangguann cemas pada anak.
3. Pola asuh yang terlalu protektif atau terlalu mengontrol juga meningkatkan risiko gangguan cemas anak.

Faktor lingkungan sekolah.
1. Hubungan yang tidak serasi antara anak dengan teman-teman sekolahnya.
2. Kemampuan intelek anak yang tidak sesuai dengan tuntutan sekolah.
3. Pengalaman gagal dalam pendidikan
G. Penanganan Terhadap Anak yang Mengalami Fobia Sekolah

Ada beberapa cara yang dapat dilakukan orangtua dalam menangani masalah fobia sekolah antara lain :

1. Tetap menekankan pentingnya bersekolah
Para ahli pendidikan dan psikolog berpendapat bahwa terapi terbaik untuk anak yang mengalami fobia sekolah adalah dengan mengharuskannya tetap bersekolah setiap hari (the best therapy for school phobia is to be in school every day). Karena rasa takut harus diatasi dengan cara menghadapinya secara langsung. Menurut para ahli tersebut, keharusan untuk mau tidak mau setiap hari masuk sekolah, malah menjadi obat yang paling cepat mengatasi masalah fobia sekolah, karena lambat laun keluhannya akan makin berkurang hari demi hari. Makin lama dia “diijinkan” tidak masuk sekolah, akan makin sulit mengembalikannya lagi ke sekolah, dan bahkan keluhannya akan makin intens dan meningkat. Selain itu, dengan mengijinkannya absen dari sekolah, anak akan makin ketinggalan pelajaran, serta makin sulit menyesuaikan diri dengan teman-temannya.

Kemungkinan besar anak akan coba-coba bernegosiasi dengan orangtua, untuk menguji ketegasan dan konsistensi orangtua. Jika ternyata pada suatu hari orangtua akhirnya “luluh”, maka keesokkan harinya anak akan mengulang pola yang sama. Tetaplah bersikap hangat, penuh pengertian, namun tegas dan bijaksana sambil menenangkan anak bahwa semua akan lebih baik setibanya dia di sekolah.

2. Berusahalah untuk tegas dan konsisten
Berusahalah untuk tegas dan konsisten dalam bereaksi terhadap keluhan, rengekan, tantrum atau pun rajukan anak yang tidak mau sekolah.dalam bereaksi terhadap keluhan, rengekan, tantrum atau pun rajukan anak yang tidak mau sekolah. Entah karena pusing mendengar suara anak atau karena amat mengkhawatirkan kesehatan anak, orangtua seringkali meluluskan permintaan anak. Tindakan ini tentu tidak sepenuhnya benar.

Jika ketika bangun pagi anak segar bugar dan bisa berlari-lari keliling rumah atau pun sarapan pagi dengan baik, namun pada saat mau berangkat sekolah, tiba-tiba mogok – maka sebaiknya orangtua tidak melayani sikap “negosiasi” anak dan langsung mengantarnya ke sekolah. Satu hal penting untuk diingat adalah hindari sikap menjanjikan hadiah jika anak mau berangkat ke sekolah, karena hal ini akan menjadi pola kebiasaan yang tidak baik (hanya mau sekolah jika diberi hadiah). Anak tidak akan mempunyai kesadaran sendiri kenapa dirinya harus sekolah dan terbiasa memanipulasi orangtua/ lingkungannya. Anak jadi tahu bagaimana taktik atau strategi yang jitu dalam mengupayakan agar keinginannya terlaksana.
Jika sampai terlambat, anak tetap harus berangkat ke sekolah – kalau perlu ditemani/ diantar orangtua.

Demikian juga jika sesampai di sekolah anak minta pulang, maka orangtua harus tegas dan bekerja sama dengan pihak guru untuk menenangkan anak agar akhirnya anak merasa nyaman kembali. Jika anak menjerit, menangis, ngamuk, marah-marah atau bertingkah laku aneh-aneh lainnya, orangtua hendaknya sabar. Ajaklah anak ke tempat yang tenang dan bicaralah baik-baik hingga kecemasan dan ketakutannya berkurang / hilang, dan sesudah itu bawalah anak kembali ke kelasnya. Situasi ini dialami secara berbeda antara satu orang dengan yang lain, tergantung dari kemampuan orangtua menenangkan dan mendekatkan diri pada anak.

Namun jika orangtua mengalami kesulitan dalam menghadapi sikap anaknya, mintalah bantuan pada guru atau sesama orangtua murid lainnya yang dikenal cukup dekat oleh anak. Terkadang, keberadaan mereka justru membuat anak lebih bisa mengendalikan diri.

3. Konsultasikan masalah kesehatan anak pada dokter
Jika orangtua tidak yakin akan kesehatan anak, bawalah segera ke dokter untuk mendapatkan kepastian tentang ada/ tidaknya problem kesehatan anak. orangtua tentu lebih peka terhadap keadaan anaknya setiap hari; perubahan sekecil apapun biasanya akan mudah dideteksi orangtua. Jadi, ketika anak mengeluhkan sesuatu pada tubuhnya (pusing, mual, dan sebagainya.), orangtua dapat membawanya ke dokter yang buka praktek di pagi hari agar setelah itu anak tetap dapat kembali ke sekolah. Selain itu, dokter pun dapat membantu orangtua memberikan diagnosa, apakah keluhan anak merupakan pertanda dari adanya stress terhadap sekolah, atau kah karena penyakit lainnya yang perlu ditangani secara seksama.

4. Bekerjasama dengan guru kelas atau asisten lain di sekolah
Pada umumnya para guru sudah biasa menangani masalah fobia sekolah atau pun school refusal (terutama guru-guru pre-school hingga TK). Hampir setiap musim sekolah tiba, ada saja murid yang mogok sekolah atau menangis terus tidak mau ditinggal orangtuanya atau bahkan minta pulang. Orangtua bisa minta bantuan pihak guru atau pun school assistant untuk menenangkan anak dengan cara-cara seperti membawanya ke perpustakaan, mengajak anak beristirahat sejenak di tempat yang tenang, atau pada anak yang lebih besar, guru dapat mendiskusikan masalah yang sedang memberati anak. Guru yang bijaksana, tentu bersedia memberikan perhatian ekstra terhadap anak yang mogok untuk mengembalikan kestabilan emosi sambil membantu anak mengatasi persoalan yang dihadapi – yang membuatnya cemas, gelisah dan takut. Selain itu, berdiskusi dengan guru untuk meneliti faktor penyebab di sekolah (misalnya diejek teman, dipukul, dsb) adalah langkah yang bermanfaat dalam upaya memahami situasi yang biasa dihadapi anak setiap hari.

5. Luangkan waktu untuk berdiskusi/berbicara dengan anak
Luangkan waktu yang intensif dan tidak tergesa-gesa untuk dapat mendiskusikan apa yang membuat anak takut, cemas atau enggan pergi ke sekolah. Hindarkan sikap mendesak atau bahkan tidak mempercayai kata-kata anak. Cara ini hanya akan membuat anak makin tertutup pada orangtua hingga masalahnya tidak bisa terbuka dan tuntas. Orangtua perlu menyatakan kesediaan untuk mendampingi dan membantu anak mengatasi kecemasannya terhadap sesuatu, termasuk jika masalah bersumber dari dalam rumah tangga sendiri. Orangtua perlu introspeksi diri dan kalau perlu merubah sikap demi memperbaiki keadaan dalam rumah tangga.

Orangtua pun dapat mengajarkan cara-cara atau strategi yang bisa anak gunakan dalam menghadapi situasi yang menakutkannya. Lebih baik membekali anak dengan strategi pemecahan masalah daripada mendorongnya untuk menghindari problem, karena anak akan makin tergantung pada orangtua, makin tidak percaya diri, makin penakut, dan tidak termotivasi untuk menyelesaikan masalahnya sendiri.

6. Lepaskan anak secara bertahap
Pengalaman pertama bersekolah tentu mendatangkan kecemasan bagi anak, terlebih karena ia harus berada di lingkungan baru yang masih asing baginya dan tidak dapat ia kendalikan sebagaimana di rumah. Tidak heran banyak anak menangis sampai menjerit-jerit ketika diantar mamanya ke sekolah. Pada kasus seperti ini, orangtua perlu memberikan kesempatan pada anak menyesuaikan diri dengan lingkungan baru-nya. Pada beberapa sekolah, orangtua/ pengasuh diperbolehkan berada di dalam kelas hingga 1 – 2 minggu atau sampai batas waktu yang telah ditentukan pihak sekolah. Lepaskan anak secara bertahap, misalnya pada hari-hari pertama, orangtua berada di dalam kelas dan lama kelamaan bergeser sedikit-demi sedikit di luar kelas namun masih dalam jangkauan penglihatan anak. Jika anak sudah bisa merasa nyaman dengan lingkungan baru dan tampak “happy” dengan teman-temannya – maka sudah waktunya bagi orangtua untuk meninggalkannya di kelas dan sudah waktunya pula bagi orangtua untuk tidak lagi bersikap overprotective, demi menumbuhkan rasa percaya diri pada anak dan kemandirian.

7. Konsultasikan pada psikolog/konselor jika masalah terjadi berlarut-larut
Jika anak tidak dapat mengatasi fobia sekolahnya hingga jangka waktu yang panjang, hal ini menandakan adanya problem psikologis yang perlu ditangani secara proporsional oleh ahlinya. Apalagi, jika fobia sekolah ini sampai mengakibatkan anak ketinggalan pelajaran, prestasinya menurun dan hambatan penyesuaian diri yang serius – maka secepat mungkin persoalan ini segera dituntaskan.
Psikolog/ konselor akan membantu menemukan pokok persoalan yang mendasari ketakutan, kecemasan anak, sekaligus menemukan elemen lain yang tidak terpikirkan oleh keluarga – namun justru timbul dari dalam keluarga sendiri (misalnya takut dapat nilai jelek karena takut dimarahi oleh papanya).
Untuk itulah konselor/ psikolog umumnya menghendaki keterlibatan secara aktif dari pihak orangtua dalam menangani masalah yang dihadapi anaknya. Jadi, orangtua pun harus belajar mengenali siapa dirinya dan menilai bagaimana perannya sebagai orangtua melalui masalah-masalah yang timbul dalam diri anak. Pendekatan yang dapat dilakukan oleh dokter serta psikolog/konselor.

Berdasarkan petunjuk American Academy of Child and Adolescent Psychiatry (AACAP, 1997) tatalaksana kasus penolakan bersekolah dengan latar belakang kecemasan adalah dengan pendekatan multimodal, dengan menggabungkan terapi kognitif dan terapi obat antidepresan.

1. Terapi Kognitif
Terapi ini memfokuskan diri pada menentang tafsiran maladaptive orang mengenai kejadian-kejadian dan cara berpikir, dan menempatkan mereka dengan berpikir yang lebih adaptif. Banyak strategi keperilakuan berkombinasi dengan strategi-strategi kognitif. Terapis kognitif juga menolong klien belajar teknik memecahkan masalah secara lebih efektif untukmenghadap masalah-masalha konkrit dalam kehidupannya.

Bentuk yang paling terkenal adalah dari Aaron Beck, 1976. Teknik terapi ini pada dasarnya mempunyai tiga tujuan,yaitu:
a. Membantu klien mengidentifikasi pikiran-pikiran maladaptive irasionalnya. Terapis kognitif mendorong klien untuk memberikan perhatian terhadap pikiran-pikiran yang diasosiasikan dengan suasana hati atau perilaku yang tidak diinginkan, untuk menuliskan pikran ini, dan memebawa pikiran-pikiran itu pada sesi terapi.
b. Mengajarkan kepada klien menghadapi pikiran-pikiran irasional atau pikiran maladaptive dan mempertimbangan alternative cara berpikir.
c. Mengarahkan upaya klien dan meyakinkan klien bahwa kejadian terburuk pun akhirnya dapat ditanggulangi.
2. Terapi obat antidepresan
Seperti kita ketahui, bahwa obat-obat antidepresan memebantu mengurangi simton-simton depresi, seperti kesedihan, rendahnya motivasi, dan gangguan tidur dan makan. Pada tahun 80-an, antidepresan yang paling banyak digunakan adalah tricyclic antidepressant. pada tahun 1950-an Kuhn menggunakan imipramine yang dimaksudkan untuk meningkatkan tidur pada penderita gangguan mental. Beberapa obat antidepresan yang terbaru tidak menargetkan serotonin atau norepinerfin, melainkan neurotransmitter asam amino yang dikenal sebagai substance P. Substansi P ini dikenal menjadi konsentrasi tinggi dalam arena otak yang meliputi emosi dan nyeri, seperti amigdala, dan dimulai tahun 1990 sebagai cara untuk menangani rasa nyeri.





BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Fobia merupakan suatu gangguan yang ditandai oleh ketakutan yang menetap dan tidak rasional terhadap suatu obyek atau situasi tertentu.
Fobia sekolah seyogyanya bukanlah masalah yang serius , namun jika dibiarkan berlarut-larut dapat benar-benar menjadi masalah serius.
Beberapa tanda yang dapat dijadikan sebagai kriteria school refusal, antara lain mau datang ke sekolah, tetapi tidak lama kemudian minta pulang, pergi ke sekolah dengan menangis, menempel terus dengan mama/papa atau pengasuhnya, atau menjerit-jerit di kelas, agresif terhadap anak lainnya (memukul, menggigit, dan sebagainya) atau pun menunjukkan sikap-sikap melawan/menentang gurunya. Menunjukkan ekspresi/raut wajah sedemikian rupa untuk meminta belas kasih guru agar diijinkan pulang. Tidak masuk sekolah selama beberapa hari karena keluhan fisik yang sering dijadikan alasan seperti sakit perut, atau sakit kepala.
Penyebabnya antara lain karena anak mengalami separation anxiety, tekanan di dalam rumah, seperti ayah ibu sering bertengkar sehingga menganggu konsentrasi belajar ,pengalaman negatif di sekolah ,orang tua terlalu protektif , dijek teman sekolah dan masih banyak lagi yang lainnya .
Bila fobia sekolah pada anak masih belum kronis, ayah ibu bisa melakukan terapi sendiri dengan cara tetap mengharuskan anak sekolah setiap hari. Menurut para ahli kejiwaan, obat manjur menghadapi rasa takut adalah dengan melawannya.
Orang tua harus berusaha untuk tegas dan konsisten dalam bereaksi terhadap keluhan, rengekan, tantrum atau pun rajukan anak yang tidak mau sekolah. Konsultasikan kesehatan anak dengan dokter. Luangkan waktu untuk berdiskusi dengan anak, barangkali anak menemui kesulitan di sekolahnya. Terakhir, bekerjasama dengan guru atau asisten lain di sekolah sehingga keseharian anak bisa terpantau.

B .Saran
Hendaknya orangtua bersikap hati-hati dan bijaksana dalam menyikapi sikap pemogokan anak ini. Alangkah baiknya, orangtua mau bersikap terbuka dalam mempelajari dan mencari semua kemungkinan yang bisa terjadi. Konsultasi dengan guru di sekolah, sharing dengan sesama orangtua murid, diskusi dengan anak, konsultasi dengan konselor/psikolog, (kalau perlu) memeriksakan anak ke paramedis/dokter sesuai keluhan yang dikemukakannya, hingga introspeksi diri. Berhati-hatilah membuat diagnosa secara subjektif, didasarkan pada pendapat pribadi diri sendiri atau keluhan anak semata.

makalah motivasi psikologi industri

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam suatu organisasi, motivasi dan disiplin kerja, termasuk hal yang paling penting demi kelancaran organisasi tersebut. Disiplin kerja merupakan alat untuk berkomunikasi untuk dapat mencapai sebuah tujuan bersama yang dipakai oleh atasan dengan bawahan maupun oleh sesama pegawai dalam suatu organisasi atau dalam lingkup sebuah kantor.
Ada kalanya pegawai atau karyawan melakukan pelanggaran untuk itu diperlukan disiplin kerja agar dapat memperbaiki perilaku-perilaku menyimpang dari pegawai atau karyawan tersebut.
Setelah terwujudnya motivasi kerja maka akan timbul disiplin kerja yang baik. Untuk mewujudkan keduanya, maka diperlukan adanya kerjasama antara atasan dan para pegawai bawahannya, agar tercipta lingkungan kerja yang kondusif untuk mendukung kinerja para pegawai secara maksimal di dalam organisasi ataupun perusahaan tersebut.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari makalah yang kami buat adalah sebagai berikut :
1. Apa definisi motivasi kerja?
2. Bagaimana terjadinya proses motivasi?
3. Apa saja jenis-jenis motivasi menurut teori?
4. Apa defenisi dari disiplin kerja?
5. Bagaimana bentuk-bentuk disiplin kerja tersebut?
6. Bagaimana pendekatan-pendekatan disiplin kerja?
7. Bagaimana bentuk sanksi pelanggaran disiplin kerja dan pelaksanaan sanksi tersebut terhadap pelanggar disiplin kerja?
C. Tujuan dan Manfaat Pembahasan
Tujuan dan manfaat dari pembuatan makalah ini, yaitu:
1. Untuk memenuhi salah satu tugas kelompok dari mata kuliah Psikologi Industri dan Organisasi
2. Untuk menjawab rumusan masalah yang ada.
3. Salah satu sarana menambah wawasan bagi mahasiswa Psikologi khususnya dan diharapkan dapat juga membantu masyarakat yang membutuhkan informasi mengenai motivasi dan disiplin kerja.
D. Metode Pembahasan
Metode pembahasan yang digunakan dalam pembentukan makalah ini yaitu dengan menjabarkan secara rinci mengenai berbagai teori motivasi dan masalah disiplin kerja para pegawai. Dalam pembahasannya diawali dengan mencari data yang mendukung tentang motivasi dan disiplin kerja pegawai melalui kajian pustaka dan pencarian data di internet, kemudian setelah itu merumuskan data yang sudah didapat dan membahasnya sesuai dengan rumusan masalah yang ada.


BAB II
TINJAUAN TEORITIS

Motivasi
Motivasi adalah proses dimana kebutuhan-kebutuhan mendorong seseorang untuk melakukan serangkaian kegiatan yang mengarah ke tercapainya tujuan tertentu. Dengan kebutuhan dimaksudkan suatu keadaan dalam diri (internal state) yang menyebabkan hasil-hasil atau keluaran –keluaran tertentu menjadi menarik. Misalnya, rasa haus menyebabkan kita tertarik pada air segar.
Proses motivasi
Kelompok kebutuhan yang belum dipuaskan ketegangan dorongan

Reduksi dari ketegangan tujuan yang telah melakukan serangkaian kegiatan
tercapai (kebutuhan yang telah dipuaskan)
sekelompok kebutuhan yang belum dipuaskan menciptakan suatu ketegangan yang menimbulkan dorongan-dorongan untuk melakukan serangkaian kegiatan untuk menemukan dan mencapai tujuan-tujuan khusus yang akan memuaskan sekelompok kebutuhan tadi yang berakibat berkurangnya ketegangan. Perilaku mencari merupakan perilakuyang aktif atau proaktif, mencari seseuatu yang dapat memenuhi kebutuhan dapat pula merupakan perilaku yang lebih reaktif. Lingkungan yang menyodorkan sesuatu dapat memnuhi kebutuhan. Misalnya kalau kita lapar, kita mencari makanan.
Pada waktu melakukan perilaku mencari secara aktif, motivasi ‘didorong keluar’. Pada waktu perilaku mencari bersifat lebih reaktif, motivasi ‘ditarik keluar’.
Kaitan motivasi kerja dengan unjuk kerja
Kaitan motivasi kerja dengan unjuk kerja dapat diungkapkan sebagai berikut: unjuk kerja (performance) adalah hasil dari interaksi antara motivasi kerja, kemampuan (abilities), dan peluang (opportunities), dengan kata lain unjuk kerja dalah fungsi dari motivasi kerja kali kemampuan kali peluang (Robins,2000).
Unjuk kerja = f Motivasi kerja x Kemampuan x Peluang
Bila motivasi kerja rendah, maka unjuk kerjanya akan rendah pula meskipun kemampuannya ada dan baik, serta peluangnya pun tersedia. Motivasi kerja seseorang dapat lebih bercorak proaktif atau reaktif. Pada motivasi kerja yang proaktif oaring akan berusaha untuk meningkatkan kemampuan-kemampuannya sesuai denagn yang dituntut oleh pekerjaannya dan/atau akan berusaha untuk mencari, menemukan dan menciptakan peluang dimana ia dapat menggunakan kemampuan-kemampuannya untuk dapat berunjuk-kerja yang tinggi.
Teori-teori motivasi
Banyak teori motivasi yang telah dikembangkan. Dari teori-teori motivasi yang ada, ada yang lebih menekankan pada ‘apa’ yang memotivasi tenaga kerja, yaitu teori motivasi isi dan ada yang memusatkan perhatiannya pada ‘bagaimana’ proses motivasi berlangsung, yaitu teori motivasi proses. Teori motivasi ini berkeyakinan tentang adanya kondisi internal dalam individu yag dinamakan kebutuhan atau motif. Teori motivasi terbagi dua yaitu teori motivasi isi dan teori motivasi proses. Teori motivasi isi terdiri dari teori motivasi tata tingkat kebutuhan, teori eksistensi relasi pertumbuhan, teoir dua factor, teori motivasi berprestasi,. Sedangkan teori motivasi proses terdiri dari teori pengukuhan, teori tujuan, teori expectancy, dan teori equity.
Teori Motivasi
a. Teori Tata Tingkat Kebutuhan
Teori tata tingkat kebutuhan dari Maslow mungkin merupakan teori motivasi kerja yang paling luas dikenal. Maslow berpendapat bahwa kondisi manusia berada dalam kondisi mengejar yang berkesinambungan. Jika satu kebutuhan dipenuhi, langsung kebutuhan tersebut diganti oleh kebutuhan lain. Proses berkeinginan secara nonstop memotivasi kita sejak lahir sampai meninggal. Maslow selanjutnya mengajukan bahwa ada lima kelompok kebutuhan, yaitu kebutuhan faali (fisiologikal), rasa aman, sosial, harga diri, dan aktualisasi diri. Kebutuhan-kebutuhan tersebut disusun secara tata tingkat sebagaimana diperlihatkan dalam gambar 9.5.
Menurut maslow, individu dimotivasi oleh kebutuhan yang belum dipuaskan, yang paling rendah, paling dasar dalam tata tingkat. Begitu tingkat kebutuhan ini dipuaskan, ia tidak akan lagi memotivasi perilaku. Kebutuhan pada tingkat berikutnya yang lebih tinggi menjadi dominan. Dua tingkat kebutuhan dapat beroperasi pada waktu yang sama, tetapi kebutuhan pada tingkat lebih rendah yang dianggap menjadi motivator yang lebih kuat dari perilaku. Maslow juga menekankan bahwa makin tinggi tingkat kebutuhan, makin tidak penting ia untuk mempertahankan hidup (survival) dan makin lama pemenuhannya dapat ditunda.
1. Kebutuhan fisiologikal (faali). Kebutuhan yang timbul berdasarkan kondisi fisiologikal badan kita, seperti kebutuhan untuk makanan dan minuman, kebutuhan akan udara segar (oksigen). Kebutuhan fisiologikal merupakan kebutuhan primer atau kebutuhan dasar yang harus dipenuhi. Jika kebutuhan ini tidak dipenuhi, maka individu berhenti eksistensinya.
2. Kebutuhan rasa aman. Kebutuhan ini masih sangat dekat dengan kebutuhan fisiologis. Kebutuhan ini mencakup kebutuhan untuk dilindungi dari bahaya dan ancaman fisik. Dalam pekerjaan, kita jumpai kebutuhan ini dalam bentuk ’rasa asing’ sewaktu menjadi tenaga kerja baru, atau sewaktu pindah ke kota baru.
3. Kebutuhan sosial. Kebutuhan ini mencakup memberi dan menerima persahabatan, cinta kasih, rasa memiliki (belonging). Setiap orang ingin menjadi anggota kelompok sosial, ingin mempunyai teman, kekasih. Dalam pekerjaan kita jumpai kelompok informal yang merupakan kegiatan untuk memenuhi kebutuhan sosial seorang tenaga kerja.
4. Kebutuhan harga diri (esteem needs). Kebutuhan harga diri meliputi dua jenis:
a. yang mencakup faktor-faktor internal, seperti kebutuhan harga diri, kepercayaan diri, otonomi, dan kompetensi.
b. yang mencakup faktor-faktor eksternal kebutuhan yang mencakup reputasi seperti mencakup kebutuhan untuk dikenali dan diakui (recognition), dan status.
5. Kebutuhan aktualisasi diri. Kebutuhan untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan kemampuan yang dirasakan dimiliki. Kebutuhan ini mencakup kebutuhan untuk menjadi kreatif, kebutuhan untuk dapat merealisasikan potensinya secara penuh. Kebutuhan ini menekankan kebebasan dalam melaksanakan tugas pekerjaannya.
Penelitian tidak secara jelas mendukung teori tata tingkat kebutuhan Maslow ini. Kreitner & Kinicki (1992) mengutip kesimpulan dari Pinder (1984:52):
” Maslow theory remains very popular among managers students of organizational behaviour, although there are still very few studies that can legitimately confirm (or refute) it. . . . . It may be that the dynamic implied by Maslow’s theory of needs are too complex to be operationalized and confirmend by scientific research. If this is the case, we may never be able to determine how valid the theory is, or – more precisely – which aspect of the theory are valid and which are not” .
Teori tata tingkat kebutuhan dari Maslow ini tidak mencerminkan adanya kebutuhan-kebutuhan yang mengarah ke motivasi kerja yang proaktif ataupun yang reaktif.
Dalam situasi dan kondisi situasi tertentu, kebutuhan-kebutuhan pada teori tata tingkat kebutuhan ini dapat menimbulkan motivasi proaktif dan dapat menimbulkan motivasi reaktif. Sistem nilai-nilai yang dimiliki individu dan corak rangsang lingkungan individu yang menentukan motivasi lebih bercorak proaktif atau reaktif. Misalnya, jika nilai “bekerja adalah mulia” merupakan nilai yang sangat dipentingkan dalam sistem nilai pribadi sesorang, maka motivasi kerjanya cenderung bercorak proaktif. Sebaliknya jika nilai tertinggi dalam sistem nilainya adalah “taat kepada atasan”, maka motivasi kerjanya akan cenderung bercorak pasif. Pekerjaan dilaksanakan sesuai dengan apa yang diinginkan oleh atasan.
Lingkungan kerja besar pula pengaruhnya terhadap corak motivasi kerja seseorang. Paksaan yang dirasakan oleh seseorang tenaga kerja untuk mementingkan ketaatan terhadap atasan dapat menghasilkan motivasi kerja yang lebih reaktif coraknya. Sebaliknya lingkungan kerja dapat pula merangsang timbulnya motivasi kerja yang proaktif.
b. Teori Eksistensi-Relasi-Pertumbuhan
Teori motivasi ini yang dikenal sebagai motivasi ERG sebagai singkatan dari Existence, Relatedness, dan Growth needs, dikembangkan oleh Alderfer, dan merupakan satu modifikasi dan reformulasi dari teori tata tingkat kebutuhan dari Maslow. Alderfer mengelompokkan kebutuahn ke dalam tiga kelompok:
1. Kebutuhan eksistensi ( existence needs ), merupakan kebutuhan akan substansi material seperti keinginan untuk memperoleh makanan, air, perumahan, uang, mebel, dan mobil. Kebutuhan ini mencakup kebutuhan fisiologikal dan kebutuhan rasa aman dari Maslow.
2. Kebutuhan hubungan ( relatedness needs ), merupakan kebutuhan untuk membagi pikiran dan perasaan dengan orang lain dan membiarkan mereka menikmati hal-hal yang sama dengan kita. Individu berkeinginan untuk berkomunikasi secara terbuka dengan orang lain yang dianggap penting dalam kehidupan mereka dan mempunyai hubungan yang bermakna dengan keluarga, teman, dan rekan kerja. Kebutuhan ini mencakup kebutuhan sosial dan bagian eksternal dari kebutuhan esteem (penghargaan) dari Maslow .
3. Kebutuhan pertumbuhan (growth needs), merupakan kebutuhan-kebutuhan yang dimiliki seseorang untuk mengembangkan kecakapan mereka secara penuh. Selain kebutuhan aktualisasi diri, juga mencakup bagian intrinsik dari kebutuhan harga diri dari Maslow.
Teori ERG menyatakan bahwa kebutuhan-kebutuhan eksistensi, hubungan dan pertumbuhan terletak pada satu kesinambungan kekonkretan, dengan kebutuhan eksistensi sebagai kebutuhan yang paling konkret dan kebutuhan pertumbuhan sebagai kebutuhan paling kurang konkret (abstrak). Beberapa dasar pikiran dari teori ini ialah bahwa: (1) makin lengkap satu kebutuhan yang lebih konkret dipuasi, makin besar keinginan/dorongan untuk memuaskan kebutuhan yang kokret/abstrak, dan (2) makin kurang lengkap satu kebutuhan dipuasi, makin besar keinginannya untuk memuaskannya.
Sesuai dengan teori maslow, teori Alderefr ini menganggap bahwa fulfillment-progression (maju ke pemenuhan kebutuhan yang lebih tinggi tingkatannyasesudah kebutuhan pada tingkat yang lebih rendah dipuasi) juga penting. Menurut Alderfer, jika kebutuhan tingkat yang lebih tinggi tidak dapat dipuasi, maka individu me-regress, kembali ke usaha untuk memuaskan kebutuhan pada tingkat yang lebih rendah. Gejala ini ia namakan frustration-regression.
Teori ERG dari Aldefer ini, sama seperti teori tata tingkat kebutuhan dari Maslow, tidak mencerminkan adanya kebutuhan-kebutuhan yang mengarah ke motivasi kerja yang proaktif ataupun yang reaktif.
c. Teori Dua Faktor
Teori dua faktor juga dinamakan teori hygiene-motivasi dikembangkan oleh Herzberg. Dengan menggunakan metode insiden kritikal, ia mengumpulkan data dari 203 akuntan dan sarjana teknik. Ia tanyakan kepada mereka untuk mengingat kembali saat-saat mereka merasakan sangat senang atau sangat tidak senang dengan pekerjaan mereka, apa saja yang menentukan rasa demikian dan dampaknya terhadap unjuk-kerja dan rasa secara menyeluruh dari kesehatan.
Ia temukan bahwa faktor-faktor yang menimbulkan kepuasan kerja berbeda dengan faktor –faktor yang menimbulkan ketidakpuasan kerja. Faktor-faktor yang menimbulkan kepuasan kerja, yang ia namakan faktor motivator, mencakup faktor-faktor yang berkaitan dengan isi dari pekerjaan, yang merupakan faktor intrinsik dari pekerjaan yaitu:
1. Tanggung jawab (responsibility), besar kecilnya tanggung jawab yang dirasakan diberikan kepada seorang tenaga kerja;
2. Kemajuan (advancement), besar kecilnya kemungkinan tenaga kerja dapat maju dalam pekerjaannya;
3. Pekerjaan itu sendiri, besar kecilnya tantangan yang dirasakan tenaga kerja dari pekerjaannya;
4. Capaian (achievement), besar kecilnya kemungkinan tenaga kerja mencapai prestasi kerja yang tinggi;
5. Pengakuan (recognition), besar kecilnya pengakuan yang diberikan kepada tenaga kerja atas unjuk-kerjanya.
Jika faktor-faktor tersebut tidak (dirasakan) ada, tenaga kerja, menurut Herzberg, merasa not satisfied (tidak lagi puas), yang berbeda dari dissatisfied (tidak puas).
Kelompok faktor yang lain yang menimbulkan ketidakpuasan, berkaitan dengan konteks dari pekerjaa, dengan faktor-faktor ekstrinsik dari pekerjaan, dan meliputi faktor-faktor:
1. Administrasi dan kebijakan perusahaan, derajat kesesuaian yang dirasakan tenaga kerja dari semua kebujakan dan peraturan yang berlaku dalam perusahaan;
2. Penyeliaan, derajat kewajaran penyeliaan yang dirasakan diterima oleh tenaga kerja;
3. Gaji, derajat kewajaran dari gaji yang diterima sebagai imbalan unjuk-kerjanya;
4. Hubungan antarpribadi, derajat kesesuaian yang dirasakan dalam berinteraksi dengan tenaga kerja lainnya;
5. Kondisi kerja, derajat kesesuaian kondisi kerja dengan proses pelaksanaan tugas pekerjaannya
Kelompok faktor ini dinamakan kelompok hygiene. Kalau faktor-faktor dirasakan kurang atau tidak diberikan, maka tenaga kerja akan merasa tidak puas (dissatisfied). Tenaga kerja akan banyak mengeluh. Jika faktor-faktor hygiene dirasakan ada atau diberikan, maka yang timbul bukanlah kepuasan kerja, tetapi menurut herzberg, not dissatisfied atau tidak lagi tidak puas.
Jika dibandingkan dengan teori tata tingkat kebutuhan dari Maslow, maka kita dapati bahwa kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan faktor-faktor motivasi merupakan kebutuhan-kebutuhan dari tingkat-tingakat tinggi, yaitu: kebutuhan harga diri dan aktualisasi diri. Sedangkan kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan faktor-faktor hygiene merupakan kebutuhan-kebutuhan dari tingkat-tingkat yang rendah, yaitu kebutuhan fisiologis, rasa aman, dan sosial.
Faktor-faktor yang termasuk dalam kelompok faktor motivator cenderung merupakan faktor-faktor yang menimbulkan motivasi kerja yang lebih bercorak proaktif, sedangkan faktor-faktor yang termasuk dalam kelompok faktor hygiene cenderung menghasilkan motivasi kerja yang lebih reaktif.
d. Teori Motivasi Berprestasi ( achievement motivation)
Teori motivasi berprestasi dikembangkan oleh David McClelland. Sebenarnya lebih tepat teori ini disebut teori kebutuhan dari McClelland, karena ia tidak saja meneliti tentang kebutuhan untuk berprestasi, tapi juga tentang kebutuhan untuk berkuasa, dan kebutuhan untuk berafiliasi / berhubungan. Penelitian paling banyak dilakukan terhadap kebutuhan untuk berprestasi.
Kebutuhan untuk berprestasi ( Need for Achievement).
Ada sementara orang yang memiliki dorongan kuat untuk berhasil. Mereka lebih mengejar prestasi pribadi daripada imbalan terhadap keberhasilan. Mereka bergairah untuk melakukan sesuatu lebih baik dan lebih efisien dibandingkan hasil sebelumnya. Dorongan ini disebut kebutuhan untuk berprestasi ( the achieveemnt need = nAch). McClelland menemukan bahwa mereka dengan dorongan prestasi yang tinggi dari orang lain dalam keinginan kuat mereka untuk melakukan hal-hal yang lebih baik. Mereka mencari kesempatan-kesempatan dimana mereka memiliki tanggung jawab pribadi dalam menemukan jawaban-jawaban terhadap masalah-masalah. Mereka yang memiliki kebutuhan akan berprestasi yang tinggi lebih menyukai pekerjaan-pekerjaan dimana mereka memiliki tanggung jawab, akan memperoleh balikan dan tugas pekerjaanya memiliki resiko yang sedang (moderate). Mereka bukan pemain judi, mereka tidak suka berhasil secara kebetulan. Tujuan-tujuan yang ditetapkan merupakan tujuan yang tidak terlalu sulit dicapai dan juga bukan tujuan yang terlalu mudah dicapai. Tujuan yang harus dicapai merupakan tujuan dengan derajat kesulitan menengah ( moderate).
Dalam penelitiannya, McClelland menemukan bahwa mereka yang memiliki nAch yang tinggi ialah para wirausaha yang berhasil. Sebaliknya ia tidak menemukan adanya manaje dengan kebutuhan untuk berprestasi yang tinggi.
Kebutuhan untuk berkuasa (Need for Power).
Adanya keinginan yang kuat untuk mengendalikan orang lain, untuk mempengaruhi orang lain, dan untuk memiliki dampak terhadap orang lain. Orang dengan kebutuhan untuk berkuasa yang besar menyukai pekerjaan –pekerjaan dimana mereka menjadi pimpinan, dan mereka berupaya mempengaruhi orang lain. Hasil penelitian menunjukkan para eksekutif puncak, para manajer, memiliki kebutuha untuk berkuasa yang besar.

Kebutuhan untuk berafiliasi ( Need for Affiliation)
Kebutuhan ini yanga paling sedikit mendapat perhatian dan paling sedikit diteliti. Orang-orang dengan kebutuhan berafiliasi yang tinggi adalah orang-orang yang berusaha mendapatkan persahabatan. Mereka ingin disukai dan diterima oleh orang lain. Mereka lebih menyukai situasi-situasi kooperatif daripada situasi kompetitif, dan sangat menginginkan hubungan-hubungan yang melibatkan saling pengertian dalam derajat yang tinggi. Mereka akan berusaha untuk menghindari konflik.
McClelland menggunakan beberapa teori dari TematicApperception Test (TAT) untuk mengetahui tinggi rendahnya kebutuhan untuk berprestasi. Orang diminta untuk membuat cerita setelah diperlihatkan gambar TAT selama beberapa menit. Ada tiga pertanyyan dasar yang diajukan, yaitu : 1. Apa yang anda lihat pada gambar, 2. Apa yang telah terjadi sebelumnya, 3. Apa yang akan terjadi. Dari jawaban-jawaban dapat disimpulkan tinggi rendahnya kebutuhan utnuk berprestasi.
Di indonesia telah dikembangkan beberapa inventory yang khusus mengukur kebutuhan untuk berprestasi, yang digunakan dalam berbagai penelitian, terutama penelitian para wirausaha dari berbagai bidang kegiatan. Orang yang memiliki kebutuhan untuk berprestasi, kebutuhan untuk berkuasa, dan kebutuhan untuk berafiliasi yang tinggi sekaligus akan memiliki motivasi kerja yang proaktif. Sedangkan yang memiliki ketiga macam kebutuhan dalam derajat yang rendah akan memiliki corak motivasi kerja yang reaktif.

Teori Motivasi Proses
a. Teori Pengukuhan
Teori pengukuhan berhubungan dengan teori belajar operant conditioning dari skinner. Teori ini mempunyai dua aturan pokok : aturan yang berhubungan dengan pemerolehan jawaban-jawaban yang benar, dan aturan pokok lainnya berhubungan dengan penghilangan jawaban-jawaban yang salah.
Pemerolehan dari suatu perilaku menuntut adanya suatu pengukuhan sebelumnya. Pengukuhan dapat terjadi positif (pemberian ganjaran untuk satu jawaban yang diinginkan) atau negati ( menghilangkan satu rangsang aversif jika jawaban yang diinginkan telah diberikan), tetapi organisme harus membuat kaitannya antara aksi atau tindakannya dengan akibat-akibatnya.
Jika jawaban yang diinginkan belum dimiliki oleh organisme, maka jawaban tersebut perlu dibentuk. Pembentukan berlangsung jika jawaban-jawaban yang mendekati jawaban-jawaban yang benar, pada awlnya dikukuhkan. Secara bertahap pengukuhan positif hanya diberikan jika perilaku yang mendekati jawaban yang benar makin mendekat, sehngga akhirnya jawaban khusus yang diinginkan saja yang dikukuhkan. Misalnya, sewaktu anak belajar bicara. Dalam usahanya mengucapkan kata, jika kedengarannya sudah seperti kata yang harus ia ucapkan kita memujinya. Makin lama ia mengucapkan kata-kata dan kalimat yang benar, sehingga waktu ia sudah dapat mengucapkan kata-kata dengan jelas dan tepat dan berbicara dengan kalimat penndek yang tepat, kita hanya memujinya jika ia lwkukan demikian.
Pemerolehan tinmbul cepat jika pengyukuhan diberikan secara bersinambung. Artinya jawaban yang tepat diganjari setelah setiap kejadian. Namun dalam kehidupan sehari-hari pemberian pengukuhan pada umumnya berjalan secara tidak berkesinambung, secara ‘tersendat-sendat’ (patrial reinforcement), dimana hanya presentase tertentu dari jawaban yang benar yang diganjari. Pengukuhan yang tersendat-sendat berakibat perolehan yang lebih lambat. Sebaliknya pengukuhan tersendat-sendat berakibat pula lambatnya penghilangan dari perilaku. Kadangkala pengukuhan tersendat-sendta diberikan dalam interval yang berlangsung secara teratur. Misalnya pembayaran gaji tenaga kerja( pengukuhan ) dilaksanakan dalam interval waktu yang berlangsung secara teratur, dengan jadwal periodik yang teratur ( secara bulanan, harian). Pengukuhan ini berlangsung tersendat-sendat karena dimaksudkan untuk menghargai unjuk-kerja tenaga kerja yang baik yang terjadi selama periode penggajian, tidak hanya untuk unjuk kerjanya pada hari pembayaran gaji.
Menurut aturan pokok teori ini jawaban-jawaban yang tidak dikukuhkan atau yang dihukum akan hilang. Untuk penghilangan jawaban yang salah tidak disarankan untuk menggunakan hukuman karena adanya akibat sampinga, yaitu kemungkinan timbulnya rasa ketakutan dan rasa permusuhan. Untuk penghilangan jawaban yang salah disarankan untuk tidak menghiraukan jawaban-jawaban tersebut. Pembelajaran yang berlangsung berdasarkan pemberian pengukuhan yang berkesinambungan akan lebih cepat dapat hilang dibandingkan dengan pemberian pengukuhan yang tersendat-sendat. Siegel dan Lane memberikan contoh dari kebiasaan untuk melihat ke bis surat apakah ada surat untuk kita atau tidak (terutama jika kita berada ditempat yang baru, jauh dari kenalan dan keluarga). Meskipun tidak setiap hari kita meenerima surat (pengukuhan), kita tetap setiap hari melihat ke bis surat. Perilaku ini memerlukan waktu yang lama untuk hilang.
Siegel dan Lane (1982), mengutip Jablonske dan de Vries, memberi saran bagaimana manajemen dapat meningkatkan motivasi kerja tenaga kerja, yaitu dengan:
1. Menentukan apa jawaban yang diinginkan
2. Mengkomunikasikan denga jelas perilaku ini kepada tenaga kerja
3. Mengkomunikasikan dengan jelas ganjaran apa yang akan diterima tenaga kerja jika jawaban yang benar terjadi
4. Memberi ganjaran hanya jika jawaban yang benar yang dilaksanakan
5. Memberikan ganjaran kepada jawaban yang diinginkan pada saat yang paling memungkinkan, yang terdekat dengan kejadiannya
Pada dasranya teori pengukuhan ini didasarkan pada asumsi bahwa corak motivasi kerja adalah reaktif. Melalui proses pengukuhan tertentu, yang merupakan proses pembelajaran, sebagaimana disarankan oleh Jablonske dan de Vries, individu diajarkan untuk memiliki motivasi kerja yang lebih proaktif.

b. teori penetapan tujuan ( goal setting theory)
Locke mengusulkan model kognitif, yang dinamakan teori tujuan, yang mencoba menjelaskan hubungan-hubungan antara niat denga perilaku.
Teori ini secara relatif lempang dan sederhana. Aturan dasranya ialah penetapan dari tujuan-tujuan secara sadar. Menurt Locke, tujuan –tujuan yang cukup sulit khusus dan yang pernyataannya jelas dan dapat diterima oleh tenaga kerja, akan menghaislkan unjuk-kerja yang lebih tinggi daripada tujuan-tujuan yang taksa, tidak khusus, dan yang mudah dicapai. Teori tujuan, sebagaimana dengan teori keadilan didasrakan pada dasra intuitif yang solid. Penelitian-penelitian yang diadasarkan pada teori ini menggambarkan kemanfaatannya bagi organisasi.
Manajemen berdasarkan sasaran (management by objectives =MBO) menggunakan teori penetapan tujuan ini. Berdasarkan tujuan-tujuan perusahaan, secara berurutan, disusun tujuan-tujuan untuk divisi, bagian sampai satuan kerja yang terkecil untuk diakhiri penetapan sasaran kerja untuk setiap karyawan dalam kurun waktu trtentu.
Penetapan tujuan dapat ditemukan juga dalam teori motivasi harapan. Individu menetapkan sasaran pribadi yang ingin dicapai. Sasaran-sasaran pribadi memiliki nilai kepentngan pribadi (valence) yang berbeda-beda.
Proses penetapan tujuan (goal setting) dapat dilakukan berdasarkan prakarsa sendiri, dapat seperti pada MBO, diwajibkan oleh orgainisasi sebagai suatu kebijakan perusahaan. Bila didasarkan oleh prakarsa sendiri dapat disimpulkan bahwa motivasi kerja individu bercorak proaktif dan ia akan memiliki keikatan (commitment)besar untuk berusaha mencapai tujuan-tujuan yang telah ia tetapkan. Bila seorang tenaga kerja memiliki motivasi kerja yang lebih bercorak reaktif, pada saat ia diberi tugas untuk menetapkan sasaran-sasaran kerjanya untuk kurun waktu tertentu, dapat terjadi bahwa keikatan terhadap usaha mencapai tujuan tersebut tidak terlalu besar.

c. Teori Harapan
Sejak dikembangkan oleh Vroom, teori harapan dikembangkan kebih lanju oleh ahli lain, antara lain oleh Poerter dan Lawler. Dalam pembahasan teori harapan selanjutnya akan dikemukakan teori harapan yang dikembangkan oleh Lawler berdasarkan pengembangan lebih lanjut dari model model Porter-Lawler (1968), sebagaimana disajikan oleh Siegel dan Lane (1982).
Model teori harapan dari Lawler mengajukan empat asumsi :
1. Orang yang mempunyai pilihan-pilihan antara berbagai hasil keluaran yang secara potensial dapat mereka gunakan. Dengan perkataan lain, setiap hasil keluaran alternatif mempunyai harkat (valence=V), yang mengacu pada ketertarikannya bagi seseorang. Hasil keluaran alternatif juga disebut tujuan-tujuan pribadi (personal goals), dapat disadari atau tidak disadari oleh yang bersangkutan. Jika disadari, maknanya serupa dengan penetapan tujuan-tujuan. Jika tidak disadari, motivasi kerjanya lebih bercorak reaktif.
2. Orang mempunyai harapan-harapan tentang kemungkinan bahwa upaya (effort=E) mereka akan mengarah ke perilaku unjuk-kerja (performance=P) yang dituju. Ini diungkapkan sebagai harapan E-P.
3. Orang mempunyai harapan-harapan tentang kemungkinan bahwa hasil-hasil keluaran (outcomes=O) tertentu akan diperoleh setelah unjuk-kerja (P) mereka. Ii diungkapkan dalam rumusan harapan P-O.
4. Dalam setiap situasi, tindakan-tindakan dan upaya yang berkaitan dengan tindakan-tindakan tadi yang dipilih oleh seseorang untuk dilaksanakan ditentukan oleh harapan-harapan (E-P, dan P-O) dan pilihan pilihan yang dipunyai orang pada saat itu.

Model harapan dari Lawler menyatakan bahwa besar kecilnya motivasi seseorang dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :
Indeks motivasi = jml { (E-P) x jml [(P-O)(V)]}

Menurt Lawler, faktor-faktor yang menentukan E-P (kemungkinan besarnya upaya menyebabkan tercapainya unjuk-kerja yang diinginkan) ialah harga diri atau kepercayaan diri, pengalaman lampau dalam situasi serupa, situasi sekarang yang aktual, komunikasi (informasi dan persepsi) dari orang lain. Misalnya P, unjuk kerja yang vdiinginkan adalah nilai A untuk mata ujian psikologi industri. Kepercayaan diri anda besar akan kemampuan menguasai mata pelajaran ini. Pengalaman yang lampau menunjukkan bahwa jumlah 20 jam diperlukan mempelajari bahan mata ujian yang diperkirakan sama beratnya. Laam ujian dua jam, sama dengan mata ujian lainnya. Persepsi orang lain terhadap anda ialah bahwa anda mampu menguasai bahan psikologi industri. Anda mempunyai pilihan untuk mencapai nilai A, B, atau C. jika ingin mendapat nilai A, maka anda akan menyediakan waktu belajar selama 20 jam untuk mempelajari bahan psikologi industri.
Besar kecilnya harapan P-O ( sebesar apa kemungkinannya untuk mendapat berbagai hasil keluaran jika mencapai unjuk kerja tertentu) juga ditentukan oleh berbagai faktor, yaitu penga;laman yang lalu dalam situasi yang serupa, ketertarikan dari hasil keluaran, kepercayaan dalam kendali internal melawan eksternal, harapa-harapan E-P, situasi aktual dan komunikasi dari orang lain. Tercapainya unjuk kerja yang diinginkan tidak menyababkan adanya kebutuhan yang dipenuhi. Tetapi dengan tercapainya unjuk kerja tersebut akan terkait kemungkinan diperolehnya hasil keluaran yang memenuhi atau gagal; memenuhi kebutuhan-kebutuhan. Misalnya dengan dicapainya nilai A untuk psikologi industri diharapkan akan diperoleh kepercayaan yang lebih besar dari orang lain (hasil keluaran yang positif), iri hati dari rekan-rekan seangkatan( hasil keluaran yang negatif), peningkatan kemudahan dan kelancaran dalam studi, penambahan teman untuk belajar bersama, makin besar kemungkinan untuk memperoleh promosi jabatan, dan sebagainya.
Komponen ketiga dari model Lwaler ialah harkat atau valence (V) yang mencerminkan bagaimana perasaan anda terhadap berbagai hasil keluaran. Hasi keluaran adalah positif, jika anda lebih ingin mencapainya daripada tidak ingin mencapainya, negatif, jika anda tidak ingin mencapainya, dan netral, jika anda tidak mempedulikan hasil keluarannya. Harkat diungkapkan dalam angka dan berkisar antara +1 sampai -1. Misalnya mendapat promosi jabatan mendapat harkat +0,9; sedangkan menimbulkan iri hati pada rekan seangkatan mungkin harkatnya -0,5.

d. Teori Keadilan (equity theory)
Teori keadilan yang dikembangkan oleh Adams bersibuk diri dengan memberi batasan tentang apa yang dianggap adil atau wajar oleh orang dalam kebudayaan kita ini, dan dengan reaksi-reaksi ereka kalau berada dalam situasi-situasi yang dipersepsikan sebagai tidak adil / wajar.
Salah satu asumsi dari Adams adalah bahwa jika orang melakukan pekerjaanya dengan imbalan gaji/ penghasilan, mereka memikirkan tentang apa yang mereka berikan pada pekerjaanya (masukan) dan apa yang mereka terima untuk keluaran kerja mereka. Masukan

Disipilin Kerja
Pengertian
 Disiplin berasal dari akar kata “disciple“ yang berarti belajar.
Disiplin merupakan arahan untuk melatih dan membentuk seseorang melakukan sesuatu menjadi lebih baik.
 Disiplin adalah suatu proses yang dapat menumbuhkan perasaan seseorang untuk mempertahankan dan meningkatkan tujuan organisasi secara obyektif, melalui kepatuhannya menjalankan peraturan organisasi.
 Menurut Keith Davis (1985-366) “Discipline is management action to enforce organization standards” yang artinya disiplin adalah pelaksana manajemen untuk memperteguh pedoman-pedoman organisasi.
Tujuan Disiplin
Difokuskan untuk mengoreksi penampilan kerja agar peraturan kerja dapat diberlakukan secara konsisten. Tidak bersifat menghakimi dalam memberlakukan hukuman atas tindakan indisipliner.

Pendekatan Disiplin Kerja
Terdapat tiga pendekatan disiplin kerja yaitu pendekatan disiplin modern, disiplin dengan tradisi dan disiplin bertujuan.
a. Pendekatan Disiplin Modern
Pendekatan disiplin modern adalah suatu bentuk pendekatan disiplin yang mempertemukan sejumlah keperluan atau kebutuhan baru diluar hukum, Pendekatan ini berasumsi bahwa :
• Disiplin modern merupakan suatu cara yang menghindari bentuk hukuman fisik.
• Melindungi tuduhan yang benar untuk diteruskan pada proses hukum yang berlaku.
• Keputusan-keputusan yang semaunya terhadap kesalahan atau prasangka harus diperbaiki dengan mengadakan proses penyuluhan dengan mendapatkan fakta-faktanya.
• Melakukan protes terhadap keputusan yang berat sebelah pihak terhadap kasus disiplin.
b. Pendekatan Disiplin dengan Tradisi
Pendekatan disiplin dengan tradisi adalah pendekatan disiplin dengan cara memberikan hukuman. Pendekatan ini berasumsi bahwa :
• Disiplin dilakukan oleh atasan kepada bawahan dan tidak pernah ada peninjauan kembali bila telah diputuskan.
• Disiplin adalah hukuman untuk pelanggaran, pelaksanannya disesuaikan dengan tingkat pelanggarannya.
• Pengaruh hukuman untuk memberikan pelajaran kepada pelanggar maupun kepada pegawai lainnya.
• Peningkatan perbuatan pelanggaran diperlukan hukuman yang lebih keras.
• Pemberian hukuman terhadap pegawai yang melanggar kedua kalinya harus diberikan hukuman yang lebih berat.
Pada dasarnya hukuman haruslah tepat untuk memusatkan perhatian pada kerasnya pelanggaran.
c. Pendekatan Disiplin Bertujuan
Pendekatan disiplin bertujuan berasumsi bahwa :
• Disiplin kerja harus diterima dan dipahami oleh semua pegawai.
• Disiplin bukanlah suatu hukuman tetapi merupakan pembentukan perilaku.
• Disiplin ditujukan untuk perubahan perilaku yang lebih baik
• Disiplin pegawai bertujuan agar pegawai bertanggungjawab terhadap perbuatannya.

Macam-macam Disiplin Kerja
Ada dua macam disiplin kerja, yaitu disiplin diri (self-dicipline) dan disiplin kelompok.
a. Disiplin Diri
Disiplin diri menurut Jasin (1989) dalam Helmi (1996) merupakan disiplin yang dikembangkan atau dikontrol oleh diri sendiri. Hal ini merupakan manifestasi atau aktualisasi dari tanggung jawab pribadi, yang berarti mengakui dan menerima nilai-nilai yang ada di luar dirinya. Melalui disiplin diri, karyawan-karyawan merasa bertanggung jawab dan dapat mengatur diri sendiri untuk kepentingan organisasi.
Disiplin diri merupakan hasil proses belajar (sosialisasi) dari keluarga dan masyarakat. Penanaman nilai-nilai yang menjunjung disiplin, baik yang ditanamkan oleh orang tua, guru ataupun masyarakat; merupakan bekal positif bagi tumbuh dan berkembangnya disiplin diri.
Penanaman nilai-nilai disiplin dapat berkembang apabila didukung oleh situasi lingkungan yang kondusif yaitu situasi yang diwarnai perlakuan konsisten dari orang tua, guru, atau pimpinan. Selain itu, orang tua, guru dan pimpinan yang berdisiplin tinggi merupakan model peran yang efektif bagi berkembangnya disiplin diri.
Disiplin diri sangat besar perannya dalam mencapai tujuan organanisasi. Melalui disiplin diri seorang karyawan selain menghargai dirinya sendiri juga menghargai orang lain. Misalnya jika karyawan mengerjakan tugas dan wewenang tanpa pengawasan atasan, pada dasarnya karyawa tersebut telah sadar melaksanakan tanggung jawab yang telah dipikulnya. Hal itu berarti karyawan sanggup melakasanakan tugasnya. Pada dasarnya ia menghargai potensi dan kemampuannya. Di sisi lain, bagi rekan sejawat, dengan diterapkannya disiplin diri, akan memperlancar kegiatan yang bersifat kelompok. Apalagi jika tugas kelompok tersebut terkait dengan dimensi waktu, ketidakdisiplinan dalam satu bidang kerja, akan menghambat bidang kerja lain.
Dapat disimpulkan bahwa ada beberapa manfaat yang dapat dipetik jika karyawan mempunyai disiplin diri yaitu:
a. Disiplin diri adalah disiplin yang diharapkan organisasi. Jika harapan organisasi terpenuhi karyawan akan mendapat reward dari organisasi, apakah itu dalam bentuk prestasi atau kompetisi lainnya.
b. Melalui disiplin diri merupakan bentuk penghargaan terhadap orang lain. Jika orang lain merasa dihargai, akan tumbuh penghargaan serupa dari orang lain pada dirinya. Hal ini semakin memperkukuh kepercayaan diri.
c. Penghargaan terhadap kemampuan diri. Hal ini didasarkan atas pandangan bahwa jika karyawan mampu melaksanakan tugas, pada dasarnya ia mampu mengaktualisasikan kemampuan dirinya. Hal itu berarti ia memberikan penghargaan pada potensi dan kemampuan yang melekat pada dirinya.

b. Disiplin Kelompok
Kegiatan organisasi bukanlah suatu kegiatan yang bersifat individual semata. Selain disiplin diri, masih dibutuhkan disiplin kelompok. Hal ini didasarkan atas pandangan bahwa di dalam kelompok kerja terdapat standar ukuran prestasi yang telah ditentukan, misalnya Simpati Air dengan On Flight Time Guarantee. Hal ini berarti setiap karyawan di Sempati akan berusaha semaksimal mungkin memenuhi standar prestasi tersebut. Semua karyawan berusaha agar pesawat dapat terbang tepat waktu, sehingga dapat dikatakan bahwa standar ukuran prestasi, salah satunya melalui disiplin yang diterapkan oleh pihak organisasi.
Bagaimana disiplin kelompok tersebut? Disiplin kelompok akan tercapai jika disiplin diri telah tumbuh dalam diri karyawan. Artinya kelompok akan menghasilkan pekerjaan yang optimal jika masing-masing anggota kelompok dapat memberikan andil yang sesuai dengan hak dan tanggung jawabnya. Maka jika satu diantara kelompok tidak bekerja sungguh-sungguh, maka kinerja kelompok akan terganggu.
Adakalanya, disiplin kelompok juga memberikan andil bagi pengembangan disiplin diri. Misalnya, jika hasil kerja dari kelompok mencapai target yang diinginkan dan karyawan mendapatkan penghargaan maka disiplin kelompok yang selama ini diterapkan dapat memberikan insight. Karyawan menjadi sadar arti pentingnya disiplin. Sedikit demi sedikit, nilai-nilai kedisiplinan kelompok akan diinternalisasi. Contoh yang lain, jika budaya atau iklim dalam organisasi tersebut menerapkan disiplin kerja yang tinggi, maka mau tidak mau karyawan akan membiasakan dirinya mengikuti irama kerja karyawan lainnya. Karyawan dibiasakan bertindak dengan cara berdisiplin. Kebiasaan bertindak disiplin ini merupakan awal terbentuknya kesadaran.
Kaitan antara disiplin diri dan disiplin kelompok dilukiskan oleh Jasin dalam Helmi (37:1996) seperti dua sisi dari satu mata uang. Keduanya saling melengkapi dan menunjang. Sifatnya komplementer. Disiplin diri tidak dapat dikembangkan secara optimal tanpa dukungan disiplin kelompok. Sebaliknya, disiplin kelompok tidak dapat ditegakkan tanpa adanya dukungan disiplin pribadi.

Faktor-Faktor Disiplin Kerja
Disiplin kerja merupakan suatu sikap dan perilaku. Pembentukkan perilaku jika dilhat dari formula Kurt Lewin adalah interaksi antara factor kepribadian dan factor lingkungan (situational).

a. Faktor Kepribadian
Faktor yang penting dalam kepribadian seseorang adalah system nilai yang dianut. System nilai dalam hal ini yang berkaitan langsung dengan disiplin. Nilai-nilai yang menjunjung tinggi disiplin yang diajarkan atau ditanamkan orang tua, guru, dan masyarakat akan digunakan sebagai kerangka acuan bagi penerapan didiplin di tempat kerja. System nilai akan terlihat dari sikap seseorang. Sikap diharapkan akan tercermin dalam perilaku.
Perubahan sikap ke dalam perilaku terdapat 3 tingkatan menurut Kelman (Brigham, 1994) yang dikutip dari Helmi (37:1996).
1. Disiplin karena Kepatuhan
Kepatuhan terhadap aturan-aturan yang didasarkan atas dasar perasaan takut. Disiplin kerja dalam tingkat ini dilakukan semata untuk mendapatkan reaksi positif dari pimpinan atau atasan yang memiliki wewenang. Sebaliknya, jika pengawas tidak ada di tempat, disiplin kerja tidak Nampak.

2. Disiplin karena Identifikasi
Kepatuhan aturan yang didasarkan pada identifikasi adalah adanya perasaan kekaguman atau penghargaan pada pimpinan. Pemimpin yang kharismatik adalah figur yang dihormati, dihargai, dan sebagai pusat identifikasi. Karyawan yang menunjukkan disiplin terhadap aturan organisasi bukan disebabkan karena menghormati aturan tersebut tetapi lebih disebabkan keseganan pada atasannya. Karyawan merasa tidak enak apabila tidak mentaati peraturan. Penghormatan dan penghargaan karyawan pada pemimpin dapat disebabkan karena kualitas kepribadian yang baik atau mempunyai kualitas professional yang tinggi di bidangnya. Jika pusat identifikasi ini tidak ada maka disiplin kerja akan menurun, pelanggaran meningkat frekuensinya.

3. Disiplin karena Internalisasi
Disiplin kerja dalam tingkat ini terjadi karena karyawan mempunyai system nilai pribadi yang menjunjung tinggi kedisiplinan. Dalam taraf ini, orang dikategorikan telah mempunyai disiplin diri.

b. Faktor Lingkungan
Disiplin kerja yang tinggi tidak muncul begitu saja tetapi merupakan suatu proses belajar yang terus menerus. Proses pembelajaran agar dapat efektif maka pemimpin yang merupakan agen pengubah perlu memperhatikan prinsip-prinsip konsisten, adil bersikap positif dan terbuka.
Konsisten adalah memperlakukan aturan secara konsisten dari waktu ke waktu. Sekali aturan yang telah disepakati dilanggar, maka rusaklah sistem aturan tersebut. Adil dalam hal ini adalah memperlakukan seluruh karyawan dengan tidak membeda-bedakan. Upaya menanamkan disiplin pada dasarnya adalah menanamkan nilai-nilai, oleh karenanya komunikasi terbuka adalah kuncinya. Dalam hal ini, adalah transparansi mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, termasuk di dalamnya sangsi dan hadiah apabila hadiah apabila karyawan memerlukan konsultasi terutama bila aturan-aturan dirasakan tidak memuaskan karyawan. Selain factor kepemimpinan, gaji kesejahteraan dan system penghargaan yang lainnya pun merupakan factor yang tidak boleh dilupakan.

Bentuk-bentuk Disiplin Kerja
Menurut Keith Davis terdapat 2 bentuk disiplin kerja yaitu :
a. Disiplin Peventif
Disiplin Preventif adalah suatu upaya menggerakkan pegawai untuk mengikuti dan mematuhi pedoman kerja, aturan-aturan yang telah digariskan oleh perusahaan. Tujuan dasarnya adalah untuk mengggerakan pegawai berdisiplin diri. Disiplin preventif merupakan suatu system yang berhubungan dengan kebutuhan kerja untuk semua bagian system yang ada dalam organisasi.
b. Disiplin Korektif
Disiplin korektif adalah suatu upaya menggerakkan pegawai dalam menyatukan suatu peraturan dan mengarahkan untuk tetap mematuhi peraturan sesuai dengan pedoman yang berlaku pada perusahaan. Pada disiplin korektif pegawai yang melanggar disiplin perlu diberikan sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku. Tujuan pemberian sanksi adalah untuk memperbaiki pegawai pelanggar, memelihara peraturan yang berlaku dan memberikan pelajaran kepada pelanggar.
Keih Davis berpendapat bahwa disiplin korektif memerlukan perhatian proses yang seharusnya yaitu prosedur yang harus menunjukkan bahwa pegawai itu benar-benar terlibat.Keperluan proses yang seharusnya ini diantaranya adalah :
• Suatu prasangka tak bersalah sampai pembuktian bahwa pegawai berperan dalam pelanggaran.
• Hak untuk didengar dalam beberapa hasus yang terwakilkan oleh pegawai lain.
• Disiplin itu dipertimbangkan dalam hubungannya dengan keterlibatan pelanggaran.
Sedangkan berdasarkan buku Sumber Daya Manusia untuk Perusahaan terdapat 4 perspektif bentuk disiplin kerja yaitu :

a. Disiplin Retributif
Disiplin retributif adalah bentuk disiplin kerja dimana para penganbil keputusan mendisiplinkan dengan suatu cara yang proporsional terhadap sasaran dengan tidak melakukan hal seperti itu akan dianggap tidak adil oleh orang-orang yang bertindak tidak tepat dan bertujuan untuk menghukum si pelanggar.
b. Disiplin Korektif
Disiplin korektif adalah suatu bentuk disiplin dimana pelanggaran-pelanggaran terhadap peraturan-peraturan harus diperlakukan sebagai masalah-masalah yang dikoreksi daripada sebagai pelanggaran-pelanggaran yang mesti dihukum, hukuman yang diberikan akan lunak karena hukuman hanya sebatas agar pelanggar menunjukan kemauan untuk mengubah perilakunya. Tujuan akhir dari disiplin korektif ini adalah untuk membantu karyawan mengoreksi perilaku yang tidak dapat diterima sehingga dia dapat terus berguna bagi perusahaan.
c. Perspektif hak-hak individu
Perspektif hak-hak individu adalah sebuah pandangan yang memandang disiplin hanya tepat dilaksanakan jika terdapat alasan yang adil untuk menjatuhkan hukuman. Hak-hak karyawan lebih diutamakan daripada tindakan disiplin. Perspektif hak-hak individu bertujuan untuk melindungi hak-hak individu.
d. Perspektif Utilitarian
Perspektif utilitarian adalah sebuah perspektif yang berfokus pada penggunaan disiplin hanya pada saat konsekuensi-konsekuensi tindakan disiplin melebihi dampak-dampak negatifnya.
Pada dasarnya perspektif mengenai bentuk-bentuk disiplin pada buku Manajemen Sumber Daya Manusia untuk Perusahaan ini hampir sama dengan bentuk-bentuk disiplin kerja menurut Keith Davis hanya saja disiplin korektif, perspektif hak-hak individual dan perspektif utilitarian dalam bentuk-bentuk disiplin kerja Keih Davis termasuk pada keperluan proses disiplin korektif.


Tindakan Indisipliner
Bimbingan Teguran Secara Lisan



Skors Teguran Secara Tertulis

Teguran Secara Lisan
Teguran secara lisan terbatas dalam hal mengingatkan perawat untuk kesalahan yang kecil dan baru pertama kali dilakukan. Sebagai suatu tindakan koreksi, biasanya teguran dilakukan secara pribadi dengan cara yang bersahabat dengan tetap memperhatikan situasi dan kondisi lingkungan. Bantu bawahan untuk membuat keputusan agar tidak mengulangi kesalahannya. Buat catatan khusus bahwa perawat telah melakukan konsultasi, catat waktu, tempat, dan permasalahannya, serta kesimpulan konsultasi. Dokumen dimasukkan kedalam file pribadi perawat.
Teguran Secara Tertulis
Teguran secara tertulis dilakukan apabila pelanggaran diulangi kembali, tidak menunjukan perbaikan atau pelanggarannya cukup serius. Dalam teguran secara tertulis, harus dicantumkan nama pegawai, nama pimpinan, permasalahannya, rencana perbaikan, dan batas waktu perbaikan serta konsekwensi nya apabila pelanggaran diulangi. Bawahan harus membaca dan memahami sanksi yang diberikan dan disepakati bersama. Dokumen dimasukan ke dalam file pribadi pegawai dan tembusannya diberikan kepada yang bersangkutan. Sanksi biasanya disesuaikan dengan kebijakan institusi atau organisasi setempat.
Keputusan Terakhir/Skors
Keputusan terakhir atau terminasi dilakukan karena pimpinan melihat bahwa kesalahan yang dilakukan oleh bawahan sudah sangat serius dan selama batas waktu perbaikan perilaku bawahan tidak memperlihatkan perubahan. Keputusan terakhir biasanya dilakukan dengan melibatkan pimpinan organisasi/Departemen. Keputusan terakhir /skors dapat dilakukan dengan berbagai cara tergantung pada tingkat kesalahannya maupun kebijakan dari institusi / organisasi. Antara lain adalah : Penurunan pangkat, mutasi, penundaan kenaikan pangkat / berkala, penurunan insentif, tidak diperkenankan bekerja untuk jangka waktu pendek , jangka waktu panjang, atau akhirnya diberhentikan / dikeluarkan.


BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa motif dapat mendorongan sikap dan disiplin kerja karyawan dengan adanya kebutuhan dalam diri pegawai yang perlu dipenuhi agar pegawai tersebut dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Motivasi merupakan kondisi yang menggerakkan pegawai agar mampu mencapai tujuan dari motifnya yang merupakan energi untuk membangkitkan dorongan dalam diri (drive arousal).
Dapat juga diartikan bahwa motivasi adalah suatu proses dimana kebutuhan-kebutuhan mendorong seseorang untuk melakukan serangkaian kegiatan yang mengarah ke tercapainya tujuan tertentu. Jadi motivasi adalah sesuatu yang menimbulkan semangat atau dorongan.
Dengan adanya motivasi maka dapat membantu psikolog (terutama psikolog yang bergerak dibidang industri) dengan cara memberikan dorongan kepada karyawan atau tenaga kerja supaya mampu melaksanakan perilaku dalam upaya memecahkan masalah yang dihadapi oleh perusahaan untuk memotivasi karyawan dalam bekerja. Motivasi dapat berupa pembeian gaji ataupn insentif bagi pekerja yang berprestasi.

B. Rekomendasi
Berdasarkan pemaparan makalah, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar pekerja dapat termotivasi dalam bekerja, diantaranya:
1. Administrasi dan kebijakan perusahaan yang memperlihatkan dukungan terhadap pemenuhan kebutuhan karyawan
2. Gaji yang diterima oleh karyawan sesuai dengan pekerjaan yang dia lakukan atau adanya timbale balik yang seimbang antar pekerjaan dengan upah yang diterima
3. Hubungan antar pribadi antar karyawan dengan atasan maupun dengan rekan kerja dapat terjalin dengan baik
4. Kondisi kerja yang kondusif sehingga karyawan merasa nyaman dalam melakukan pekerjaannya.