Monday, November 9, 2009

makalah konseling dan advokasi pada psikologi industri

KONSELING DAN ADVOKASI

I. KONSELING
A. Pengertian Konseling
Konseling merupakan bagian dari bimbingan, baik pelayanan maupun sebagai teknik. Konseling merupakan inti kegiatan bimbingan secara keseluruhan dan lebih berkenaan dengan masalah individu secara pribadi. Mortensen (1964:301) mengatakan bahwa, “Counseling is the heart of the guidance program”. Dan Ruth Strang (1958) menyatakan bahwa, “ Guidance is broader: Conseling is a most important tool of Guidance”. Jadi konseling merupakan inti dan alat yang paling penting dalam keseluruhan sistem dan kegiatan bimbingan.
Jones (1970: 96) menyebutkan bahwa konseling sebagai suatu hubungan professional antara seorang konselor yang terlatih dengan klien. Hubungan ini biasanya bersifat individual meskipun kadang melibatkan lebih dari dua orang dan dirancang untuk membantu klien memahami dan memperjelas pandangan terhadap ruang lingkup hidupnya sehingga dapat membuat pilihan yang bermakna bagi dirinya. Sedangkan Kottler dan Brown (1985:6-8), mengemukakan bahwa konseling merupakan suatu proses yang dirancang untuk merangsanng berpikir agar ide-ide dapat mengendap, berkembang dan tumbuh ke arah suatu konsepsi pribadi.
Dua diantara sekian karakter konseling menurut Patterson (1967, dalam Konseling, 1996: 38) perlu diingat bahwa:
1. Konseling memberi perhatian pada proses mempengaruhi perubahan tingkah laku konseli (conselee) yang suka rela. Dalam arti konseli atau klien sendiri ingin berubah dan mencari konselor untuk membantunya.
2. Tujuan konseling ialah menyiapkan kondisi yang memungkinkan terjadinya perubahan tingkah laku secara sukarela. Kondisi itu misalnya mencari perhatian terhadap hak individu, kebebasan dan otonomi pribadi dalam menentukan pilihan.
Pekerjaan merupakan pernyataan diri manusia sebagai subjek yang harus berkembang dan menemukan diri. Kerja merupakan wadah aktualisasi diri dari orang dewasa, yang mempunyai dunia dengan dua warna dominan, yakni cinta dan pekerjaan (to love and to work, Lieben and Arbeiten). Dalam hal ini berarti, masalah merupakan sesuatu yang akrab dalam proses perkembangan diri, termasuk pula dalam lingkup kerja.
Kondisi kerja masyarakat modern yang dirasakan makin memberikan stres menimbulkan kebutuhan akan pelayanan kesehatan mental untuk menanganinya. Diperlukan perhatian terhadap kesejahteraan fisik dan mental karyawan, yang pada akhirnya akan mengarah pada produktivitas yang lebih tinggi dan perolehan profit yang yang lebih besar bagi perusahaan, sekaligus sebagai wujud tanggung jawab perusahaan secara hukum dan etika. Bagi karyawan sendiri tercapainya kesejahteraan fisik dan mental merupakan salah satu hal yang diinginkan dalam hidupnya. Maka jasa konseling merupakan salah satu penawaran sebagai tindakan pencegahan atau antisipasi resiko dari stres kerja.
Konseling perusahaan merupakan salah satu bentuk perhatian terhadap kesejahteraan fisik dan mental karyawan yang pada akhirnya akan mengarah pada produktivitas yang lebih tinggi dan perolehan profit yang lebih besar bagi perusahaan. Pada awalnya konseling perusahaan lebih banyak menangani masalah hubungan antarmanusia dalam lingkup perusahaan (1913). Kemudian pada tahun 1940 jasa konseling lebih dimaksudkan sebagai salah satu usaha pendidikan kesehatan di tempat kerja yang bertujuan untuk membantu karyawan dalam menangani kesejahteraan fisik dan mental, seperti alkohol, merokok, manajemen stress, menjaga kesehatan jantung, dll. Penanganan terhadap masalah kecanduan alkohol dilakukan secara interdisipliner, yakni oleh ex-alcoholics, psikiater, social workers, occupational & industrial psychologist, dan staf personalia. Mulai tahun 1960 counsellors & counselling psychologist merupakan tim kesehatan mental, di mana konseling individu menjadi bagian dari pelayanan Employee Assistance Programme (EAP), yang terkait dengan kinerja karyawan, terapan manajemen dan kepemimpinan, pelatihan supervisor, dan dukungan terhadap seluruh level karyawan, termasuk pelatihan yang membantu individu dan organisasi dalam menghadapi perubahan.

B. Fungsi Konseling
Secara umum, terdapat beberapa fungsi pokok konseling, yaitu :
• Pemberian nasehat
Proses konseling yang sering dilakukan biasanya berupa pemberian nasehat kepada karyawan dengan maksud untuk mengarahkan mereka dalam pelaksanaan serangkaian kegiatan yang diinginkan.
• Penentraman hati
Melalui proses konseling, karyawan di-support untuk bekerja lebih baik. Selain itu, klien atau dalam hal ini karyawan diberi pengarahan agar mereka yakin bahwa mereka memiliki kemampuan untuk mengerjakan semua pekerjaan dengan maksimal. Hal tersebut diharapkan bisa menentramkan hati karyawan.
• Komunikasi
Konseling adalah suatu proses komunikasi. Dengan adanya konseling, akan tercipta sebuah komunikasi dalam manajemen kerja, baik dari hirarki atas ke bawah maupun sebaliknya. Salah satu hal terpenting adalah konseling bisa memberikan kesempatan pada konselor atau pembimbing untuk menginterpretasikan masalah-masalah manajemen dan menjelaskan berbagai pandangan kepada karyawan.
• Pengenduran ketegangan emosional
Orang cenderung menjadi kendur ketegangan emosionalnya bila mereka mempunyai kesempatan untuk membahas masalah-masalah mereka dengan orang lain.
• Penjernihan pemikiran
Pembahasan masalah-masalah secara serius dengan orang lain akan membantu seseorang untuk berpikir lebih jernih terntang berbagai masalah mereka.
• Reorientasi
Reorientasi mencakup perubahan berbagai tujuan dan nilai karyawan. Konseling yang mendalam oleh para psikolog atau psikiatrik, dalam praktek, sering sangat membantu karyawan untuk merubah nilai-nilai mereka. Sebagai contoh, mereka lebih menyadari keterbatasan-keterbatasan mereka.

Selain fungsi-fungsi tersebut, fungsi konseling bisa dibagi dalam tiga bentuk, yaitu:
• Bantuan bersifat preventif, yaitu bantuan untuk mencegah timbulnya masalah dan memberi informasi.
• Bantuan bersifat korektif, yaitu bantuan untuk menyelesaikan masalah.
• Bantuan bersifat preservatif, yaitu upaya menjaga keadaan yang telah baik (memelihara)

Dalam konseling perusahaan, bantuan konseling lebih merujuk pada bantuan yang bersifat preventif, dengan fungsi sebagai berikut.
a) Mendukung karyawan dalam menghadapi perubahan organisasi.
b) Sebagai cara untuk meningkatkan kesehatan mental. Egan (1994) menghitung biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan untuk menangani masalah psikologis dan sosial serta problem karyawan yang "mahal" nilainya, seperti hubungan kerja sama dalam kelompok, alkoholik, perceraian, kematian yang mempengaruhi terjadinya kesalahan kerja. Bila tidak ditangani, maka dapat dihitung besarnya kerugian yang diderita.
c) Meningkatkan nilai Sumber Daya Insani sebagai aset organisasi. Dengan semakin tingginya kesadaran bahwa manusia adalah asset organisasi, maka jasa konseling diadakan untuk mengatur kekuatan-kekuatan organisasi secara konstruktif.
d) Konseling/psikoterapi tidak hanya bertindak secara kuratif, yakni penanganan kasus yang sudah terlanjur terjadi, melainkan juga menangani secara preventif dalam bentuk pemberian latihan dan pendidikan untuk mencegah sakit mental, sehingga biaya jangka panjang akan lebih murah.
e) Sebagai wujud tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility). Program ini menguntungkan organisasi dan masyarakat. Perlu dilakukan pendekatan secara menyeluruh pada karyawan, yakni secara fisik, mental, emosional, dan spiritual (satu-satu saja tidak cukup). Individu perlu memperoleh bantuan profesional dalam menjalani tahap-tahap perkembangan hidupnya, guna menghadapi masalah transisi dan krisis.
f) Sebagai sumber perubahan organisasi. Konseling membantu membawa nilai, energi perubahan, vitalitas penerimaan, realisasi penerimaan, dan perkembangan diri menuju situasi kerja yang dinamis. Konseling mempengaruhi budaya organisasi, sehingga menjadi kuat dan adaptif.

Ada beberapa manfaat mempelajari konseling. Sejumlah manfaat yang dipeorleh dengan mempelajari konseling antara lain:
1. Sebagai landasan bagi perencanaan untuk mem\asuki profesi konseling.
2. Untuk mengembangkan diri menjadi konselor professional dan menemukan konseling sebagia karir.
3. Memperoleh manfaat dalam menerapkan prinsip-prinsip perilaku manusia, terutama pengembangan diri sendiri.
4. Terutama bagi kaum generasi muda, mempelajari konseling banyak memberikan manfaat dalam menunjang perjalanan hidupnya.

Cooper (1995) membagi alasan pemilik perusahaan mengadakan konseling di organisasi menjadi 3 kategori, yaitu :
1. sebagai fasilitas pelayanan kesejahteraan;
2. sebagai sarana untuk menolong klien menghadapi perubahan situasi kerja;
3. sebagai alat untuk mengatasi stres.
Oleh sebab itu, dapat dimengerti mengapa konseling perusahaan sangat diperlukan, mengingat bahwa ¼ dari waktu hidup manusia dihabiskan di tempat kerja, identitas pribadi seringkali dihubungkan dengan kerja, dan adanya keterkaitan antara kehidupan pribadi dan profesional. Satu hal yang pasti, adanya kebebasan dan keluwesan untuk menyesuaikan konseling perusahaan dengan tuntutan dan kebutuhan masing-masing organisasi.
Bagaimanapun konseling hanyalah satu di antara sekian banyak alternatif yang ada untuk menangani permasalahan manusia dalam lingkup kerja, dengan kemampuan untuk menolong individu dalam menggunakan potensinya sendiri melalui hubungan konseling. Perlu atau tidaknya konseling perusahaan diprogramkan dalam rencana kerja perusahaan, kembali terpulang pada perusahaan atau organisasi itu sendiri.
Mempersiapkan dan mempertahankan pelayanan konseling di tempat kerja, baik di dalam maupun di luar lingkup perusahan, bukanlah hal yang mudah. Dibutuhkan perencanaan yang teliti, karena perencanaan yang buruk dapat berdampak negatif bagi organisasi yang sulit untuk dipulihkan kembali.
Memperkenalkan konseling di dunia kerja seperti menyatukan dua dunia yang berbeda, maka perlu adanya negosiasi yang jelas serta antisipasi dari masalah yang mungkin terjadi. Ketidaktahuan atau keputusan yang salah untuk mengadakan konseling dalam organisasi, ketidak sesuaian dengan kondisi organisasi, dapat berakibat buruk bagi organisasi maupun karyawannya. Tanpa adanya keputusan yang matang dan hati-hati, yang terkait dengan kebijakan organisasi, prosedur dan pemasarannya, maka masalah dapat dipastikan akan muncul.



C. Peran yang Disandang Konselor dalam Organisasi
Banyaknya peran yang disandang oleh konselor perusahaan merupakan hal yang membedakannya dengan konselor lain. Jarang dijumpai seorang konselor yang mempunyai hanya satu peran; biasanya mereka merangkap sebagai trainer, welfare officer, etc. Karena itu dapat terjadi kesesuaian ataupun konflik peran dan tanggung jawab.
Melalui pelatihan, seorang konselor dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan organisasi. Namun tugas yang terlalu banyak juga dapat membebani karyawan, di samping juga mengakibatkan konflik peran bila karyawan dilibatkan pada berbagai aktivitas organisasi. Crandall dan allen (1982) menunjukkan kemungkinan terjadinya benturan antara peran konseling dan peran organisasi. Ada 4 tuntutan yang harus dipenuhi seorang konselor dalam organisasi, yakni:
1) Melakukan konseling terhadap klien dengan menggunakan pendekatan tertentu.
2) Menjadi anggota dari organisasi.
3) Tuntutan dari klien untuk bersekutu (kolusi) pada sisi yang negatif.
4) Memihak pada klien bila terdapat tuntutan yang tidak masuk akal dari pihak organisasi.

Karena itu, ada kemungkinan terjadi konflik hati nurani pada diri konselor. Dengan kata lain konselor harus mendefinisikan kembali perannya dalam organisasi, termasuk masalah kerahasiaan dan kesetiaan pada pihak perusahaan. Konselor juga harus menjelaskan kepada klien apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan atau batas wewenangnya. Nixon dan Carrol (1994) misalnya menyatakan bahwa peran manajer dan peran konselor adalah dua peran yang tidak dapat dilakukan bersamaan. Dalam kenyataannya pembaharuan batasan peran dan pemahaman tentang jasa konseling ini harus selalu dilakukan. Konselor juga harus mempertimbangkan waktu yang digunakan untuk individu, untuk kelompok, untuk perkembangan organisasi, untuk konsultasi denga pihak manajemen, untuk pelatihan, dan sebagainya.
Singkatnya salah satu masalah yang dihadapi konselor yang juga menjadi karyawan adalah kejelasan peran dan tanggung jawab mereka. Dengan keahlian yang dimilikinya, bukan tidak mungkin bila organisasi menginginkan agar mereka juga terlibat dalam berbagai dimensi perkembangan organisasi. Maka kredibilitas jasa, hambatan dan masalah etis, serta penggunaan waktu dan keterlibatan emosi harus dipertimbangkan.
Tidak diragukan bahwa tujuan dari konseling adalah untuk menunjang pertumbuhan, otonomi, untuk mendorong klien agar memperhatikan diri sendiri, untuk menjadi asertif, dan untuk mengembangkan potensi individu. Bila konseling dilakukan dalam lingkup organisasi, terkadang hal ini tidak sejalan dengan prinsip bisnis. Bisnis dan konseling merupakan dua dunia yang berbeda. Nahrworld (1983, dalam Carroll, 1996, h. 53) melihat adanya antagonisme antara konseling dan bisnis. Para ilmuwan sosial pada pertengahan tahun 1960 menilai bisnis sebagai amoral, serakah, kotor, memanfaatkan manusia dan mengorbankan nilai manusia serta tanggung jawab sosial untuk meningkatkan keuntungan. Untuk membalasnya kalangan bisnis juga melontarkan kritik tajam terhadap mereka dengan sebutan naif, bleeding head academics ataupun penganut paham Marxisme yang berniat untuk menggulingkan kapitalisme (1983). Konselor pada saat itu membuat jarak dengan kalangan bisnis yang terlihat dari cara mereka berpakaian, sikap permusuhan dan arogansi profesional. Untuk itu Nahrworld menyarankan agar kedua pihak lebih saling mengenal satu sama lain dan mencoba untuk berjalan bersama, di mana politik dari organisasi dapat digunakan untuk maksud baik. Memang dibutuhkan usaha tersendiri untuk memadukan kedua dunia ini, dan seringkali keselarasan yang terbentuk tidak bertahan lama. Bisa jadi konseling dilakukan dalam lingkup organisasi untuk dimanfaatkan sebagai penutup kekurangan pihak manajemen.
Di samping konflik antara nilai konselor dan nilai organisasi, dapat juga terjadi konflik dengan norma dan bahkan kebijakan organisasi. Konselor dan manajer saling berjuang untuk memahami satu sama lain dan mengubah pandangan masing-masing. Tidak hanya terjadi bahwa organisasi menolak peran konseling, namun ada pula konselor yang melihat industri sebagai bertentangan dengan nilai kemanusiaan, karena mendapatkan keuntungan dengan cara mengorbankan orang lain.
Untuk mengatasi pertentangan yang terjadi, memang dibutuhkan usaha integrasi. Dalam kenyataannya tidak semua organisasi mengalami pertentangan semacam itu. Ada pula organisasi yang suportif dan merupakan "learning organization". Carroll dalam penelitiannya (1994, dalam Carroll, 1996, h. 54) menemukan banyak pula in-house counsellors yang menyatakan tidak ada pertentangan pendapat antara pihak organisasi dengan karyawan. Dalam hal ini konselor telah berhasil dengan baik untuk menjembatani kedua dunia ini.
Secara singkat, bila secara teoritis terdapat pertentangan antara dunia kerja dan dunia konseling, maka dalam prakteknya sebagian besar konselor dapat menjembatani hal ini secara kreatif. Namun ada beberapa hal yang masih harus dipertimbangkan untuk menyesuaikan dunia kerja dengan dunia konseling.

D. Teknik-teknik dalam Konseling
Keberhasilan konseling banyak ditientukan oleh keefektifan konselor dalam menggunakan berbagai teknik. Berikut ini akan dibahas mengenai teknik-teknik konseling mulai dari persiapan. Pelaksanaan, dan penggunaan berbagai pendekatan.
1. Persiapan untuk konseling
Ada 3 hal yang harus dilakukan konselor dalam memulai proses konseling, yaitu:
• Membuat kesiapaan untuk konseling
• Memperoleh informasi riwayat kasus
• Evaluasi Psikodiagnisis

2. Teknik-teknik Hubungan
Berikut akan dibahas mengenai delapan teknik untuk menciptakan hubungan antara konselor dan klien.
• Teknik Rapport
• Refleksi perasaan
• Teknik-teknik penerimaan
• Teknik menstrukturkan
• Diam sebagai suatu teknik
• Teknik-teknik memimpin
• Memberikan jaminan
• Keterampilan mengakhiri

3. Teknik-teknik Interpretasi
• Hakekat interpretasi
• Teknik Interpretasi
• Tipe-tipe interpretasi
• Metode Interpretasi

4. Penggunaan nasihat, informasi dan tes
• Nasihat dalam konseling
• Tes dan observasi dalam konseling
• Prinsip-prinsip penggunaan tes dalam konseling


II. ADVOKASI
A. Pengertian Advokasi
Dasar filosofi advokasi adalah bahwa selalu ada saat di mana orang yang tidak mengerti hukum harus diberikan bantuan, hak-hak golongan masyarakat tertentu perlu diwujudkan dan demi terciptanya keadaan yang seyogyanya. Tujuan advokasi adalah menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan, mendukung pelaksanaan peraturan kesejahteraan social, dan menumbuhkan rasa tanggung jawab para petugas birokrasi dalam melaksanakan pengabdian pada masyarakat. Adapun tujuan utama advokasi adalah realisasi hak-hak masyarakat.
Webster’s New Collegiate Dictionary mengartikan advokasi sebagai tindakan atau proses untuk membela atau memberi dukungan. Advokasi dapat pula diterjemahkan sebagai tindakan mempengaruhi atau mendukung sesuatu atau seseorang. Advokasi pada hakekatnya suatu pembelaan terhadap hak dan kepentingan publik, bukan kepentingan pribadi, sebab yang diperjuangkan dalam advokasi tersebut adalah hak dan kepentingan kelompok masyarakat (public interest) - dalam hal ini dunia usaha.
Advocate bisa berarti menganjurkan, memajukan (to promote), menyokong atau memelopori. Dengan kata lain, advokasi juga bisa diartikan melakukan ‘perubahan’ secara terorganisir dan sistematis. Pandangan semacam itu bukan selamanya keliru, tapi juga tidak sepenuhnya benar. Mungkin pengertian advokasi menjadi sempit karena pengaruh yang cukup kuat dari padanan kata advokasi itu dalam bahasa Belanda, yakni advocaat yang tak lain memang berarti pengacara hukum atau pembela. Namun kalau kita mau mengacu pada kata advocate dalam pengertian bahasa Inggris, maka pengertian advokasi akan menjadi lebih luas. Menurut Mansour Faqih, Alm., dkk, advokasi adalah usaha sistematis dan terorganisir untuk mempengaruhi dan mendesakkan terjadinya perubahan dalam kebijakan publik secara bertahap-maju (incremental). Julie Stirling mendefinisikan advokasi sebagai serangkaian tindakan yang berproses atau kampanye yang terencana/terarah untuk mempengaruhi orang lain yang hasil akhirnya adalah untuk merubah kebijakan publik. Sedangkan menurut Sheila Espine-Villaluz, advokasi diartikan sebagai aksi strategis dan terpadu yang dilakukan perorangan dan kelompok untuk memasukkan suatu masalah (isu) ke dalam agenda kebijakan, mendorong para pembuat kebijakan untuk menyelesaikan masalah tersebut, dan membangun basis dukungan atas kebijakan publik yang diambil untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Penegasan ini penting untuk menghindari kesimpangsiuran pemahaman yang akan berujung pada kesalahan menerapkan strategi dan tujuan. Bagaimanapun banyak lembaga atau organisasi yang merasa prihatin dengan kenyataan sosial, kemudian mengupayakan sesuatu, namun pada akhirnya terjebak pada kesalahan dalam mendiagnosa masalah. Misalnya saja organisasi yang berjuang memberantas kemiskinan yang menggunakan pendekatan sedekah (charity) belaka dengan membagi-bagi uang dan sebagainya tanpa pernah mempertanyakan apa yang menyebabkan masyarakat menjadi miskin.
Advokasi sesungguhnya adalah mempersoalkan ketidakadilan struktural dan sistematis yang tersembunyi di balik suatu kebijakan, undang-undang atau peraturan yang berlaku. Maka melakukan advokasi juga mempersoalkan hal-hal yang berada di balik suatu kebijakan, secara tidak langsung mulai mencurigai adanya bibit ketidakadilan yang tersembunyi dibalik suatu kebijakan resmi. Tujuan dari advokasi keadilan sosial adalah bagaimana mengupayakan/mendorong lahirnya sebuah kebijakan publik yang adil, bagaimana merubah kebijakan publik yang tidak adil dan bagaimana mempertahankan kebijakan yang sudah adil dengan suatu strategi. Sebuah kebijakan publik tidak akan pernah dibuat sesuai dengan kebutuhan masyarakat luas.
Dalam kedudukannya sebagai organisasi pengusaha, maka yang dimaksud adalah advokasi kebijakan publik, yaitu tindakan-tindakan yang dirancang untuk merubah kebijakan-kebijakan publik tertentu, meliputi yaitu:
• Hukum dan perundang-undangan
• Peraturan
• Putusan pengadilan
• Keputusan dan Peraturan Presiden
• Platform Partai Politik
• Kebijakan-kebijakan institusional lainnya

B. Pentingnya Advokasi
Advokasi merupakan upaya untuk mengingatkan dan mendesak negara dan pemerintah untuk selalu konsisten dan bertanggungjawab melindungi dan mensejahterakan seluruh warganya. Ini berarti sebuah tanggung jawab para pelaksana advokasi untuk ikut berperanserta dalam menjalankan fungsi pemerintahan dan negara.
Untuk mencapai tujuan yang diinginkan berbagai bentuk kegiatan advokasi dilakukan sebagai upaya memperkuat posisi tawar (bargaining position) asosiasi atau organisasi pengusaha. Bentuk-bentuk kegiatan advokasi antara lain pendidikan dan penyadaran serta pengorganisasian kelompok-kelompok usaha, pemberian bantuan hukum yang mengedepankan pembelaan hak-hak dan kepentingan organisasi pengusaha, serta kegiatan me-lobby ke pusat-pusat pengambilan keputusan.
Advokasi kebijakan publik termasuk pula menyuarakan kepentingan dan mencari dukungan terhadap posisi tertentu berkenaan dengan kebijakan publik tertentu. Posisi ini dapat berupa persetujuan, penghapusan, penolakan ataupun perubahan kebijakan yang ada. Oleh karenanya, advokasi kebijakan publik dapat berupa tindakan penentangan terhadap posisi pemerintah dalam isu-isu tertentu, khususnya dalam kebijakan publik yang menyangkut kegiatan usaha, sektor swasta perlu membuat suaranya didengar sehingga dapat memperbaiki kebijakan publik yang perlu dirubah. Hukum dan peraturan itu antara lain meliputi: perdagangan, ketenagakerjaan, keselamatan kerja, transportasi, keuangan, perpajakan, tarif, dumping, pungutan dan biaya lain yang berkenaan dengan kegiatan usaha.

C. Advokasi dan Organisasi Pengusaha / Perusahaan
Organisasi pengusaha didirikan untuk melayani kepentingan anggotanya, menawarkan sejumlah layanan yang dirancang untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas operasional anggota. Melalui asosiasi sektoralnya masing-masing, para pelaku usaha secara teratur harus mampu menyuarakan posisi mereka dalam isu-isu tertentu melalui cara advokasi kebijakan publik baik ditingkat kabupaten/kota, provinsi maupun pusat. Untuk itu, para anggotanya juga dituntut untuk memahami dengan baik mengenai kebijakan pemerintah serta menyatukan pandangan yang seringkali berbeda-beda mengenai manfaat maupun kerugian dari adanya suatu kebijakan tertentu.

Kepentingan advokasi bagi Asosiasi Bisnis adalah :
• Menciptakan lingkungan bisnis yang kondusif
• Mewujudkan stabilitas kebijakan
• Memastikan undang-undang dan regulasi yang tepat sasaran
• Memastikan peraturan perundang-undangan yang adil dan dapat dipertanggungjawabkan secara administratif.

Ada kelakuan berbeda antara organisasi bisnis dengan keanggotaan wajib dan didanai pemerintah, dibanding organisasi yang murni didirikan secara sukarela. Asosiasi bisnis dengan sistem keanggotaan wajib dan didanai pemerintah tentunya akan memiliki keterbatasan dalam ruang lingkup kegiatannya - terutama bila melakukan advokasi tertentu yang kurang sejalan dengan kebijakan pemerintah yang berakibat mengancam atau membahayakan sumber dananya.
Advokasi juga penting bagi pembuat kebijakan karena mereka memerlukan:
• Informasi yang berkaitan dengan isu-isu yang ada dalam masyarakat
• Opini publik dan konstituen
• Bahan masukan yang membantu proses pembuatan peraturan.

D. Bentuk-bentuk Advokasi
• Advokasi preventif yang mencakup penyuluhan dan penerangan hukum serta kebijakan publik
• Advokasi diagnostik yaitu berupa konsultasi pemecahan masalah dari golongan sasaran, pemberian nasehat hukum.
• Advokasi pengendalian konflik yaitu advokasi yang bertujuan untuk mengatasi masalah hak-hak masyarakat secara konkrit
• Advokasi pembentukan hukum dan kebijakan
• Advokasi pembaharuan masyarakat.

E. Strategi Advokasi
Advokasi harus dalam pelaksanaannya pertama kali harus mendapat kepercayaan penuh dari masyarakat yang diadvokasi. Untuk itu diperlukan kemampuan:
1. Kemampuan berkomunikasi dan mendapatkan pengertian dari golongan sasaran
2. Kemampuan mengarahkan partisipasi dari golongan sasaran
3. Kemampuan memilih waktu yang tepat
4. Kemampuan memberikan teladan
5. Penguasaan materi dan pengetahuan
6. Kemampuan negosiasi dan alternative penyelesaian sengketa.

Strategi advokasi memerlukan komunikasi efektif dengan beragam audien untuk:
• Memperoleh dukungan dari yang abstain
• Memperoleh dukungan dari individu dan kelompok yang sebelumnya menentang
• Memperkuat komitmen dari pendukung yang sudah ada

Untuk mencapai semua ini, bahan advokasi perlu ditargetkan kepada masyarakat yang sedang Anda coba untuk pengaruhi dan bahan tersebut harus disampaikan tepat waktu. Dalam beberapa kasus, misalnya, anda perlu untuk menyampaikan permasalahan secara singkat danlangsung; dalam kesempatan lain, anda mungkin perlu untuk memberikan perlakuan yang lebih intensif untuk dapat menjadi persuasif.
Dalam setiap kasus, pesan yang disampaikan harus:
• Menampung kepentingan masyarakat
• Meyakinkan dengan memberikan penjelasan mengapa permasalahan itu penting dan membutuhkan dukungan
• Singkat, langsung pada pokok permasalahan
• Tunjukkan langkah-langkah yang perlu dilakukan jika memang ada
• Persiapkan juga jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan yang dapat diantisipasi

Pesan pada pembuat kebijakan harus mencakup:
• Mengapa permasalahan ini penting
• Berapa jumlah orang dan/atau kelompok yang mendukungnya (daftar tanda tangan dapat
• sangat meyakinkan)
• Bagaimana dampak positif dan negatif proposal yang diajukan
• Bagaimana proposal tersebut akan membantu atau mengganggu konstituen tertentu seperti
• pekerja, investor, pemasok dan pembeli
• Bagaimana pandangan partai politik pembuat kebijakan terhadap aksi yang diusulkan
• Hal-hal apa yang perlu untuk dilakukan secara khusus (antara lain kebijakan, hukum atau
• peraturan mana yang perlu untuk dilaksanakan, dihapuskan atau direvisi)
• Bahasa atau rancangan aktual dari hukum, kebijakan atau peraturan yang diusulkan

Terdapat sejumlah media yang tersedia untuk membantu anda menyampaikan pesan pada
audien, meliputi:
• Press release
• Briefing
• Position Paper atau makalah posisi kebijakan
• Materi op-ed (opini editor)
• Lembaran fakta (yang menjawab pertanyaan yang seringkali ditanyakan)
• Pidato (yang disampaikan dalam testimonial, seminar, rapat kerja, konferensi)
• Press kit

Dengan menyiapkan bahan-bahan tersebut di atas sesegera mungkin dan mengirimkannya kepada pihak-pihak berpengaruh dan masyarakat pada waktu yang tepat akan membantu asosiasi untuk mempengaruhi debat kebijakan, termasuk pula hasil putusan akhirnya sebagaimana yang diharapkan. Inilah sebenarnya tujuan utama dari advokasi.
Advokasi efektif memungkinkan informasi yang penting dan relevan dengan kebijakan dapat tersedia secara luas bagi beberapa pihak berpengaruh yang dapat mempengaruhi kebijakan publik. Pihak-pihak berpengaruh tersebut meliputi:
1. Media yang paling banyak mendapatkan keuntungan dari keberadaan asosiasi bisnis dan komentar serta kritikan dari para think tank. Jurnalis mengumpulkan banyak sekali informasi dari sumber resmi pemerintah, akan tetapi mereka dapat menganalisais informasi ini dengan lebih baik jika mereka mau mendengarkan aspirasi dari asosiasi bisnis dan think tank.
2. Kalangan hukum yang memerlukan informasi mendalam karena kebijakan dapat mempengaruhi hidup masyarakat. Warga masyarakat, dalam banyak hal, akan memutuskan apakah akan memilih kembali wakil rakyat yang sama atau tidak. Kebijakan yang kuat mendukung lingkungan bisnis yang bersahabat, reformasi berorientasi pasar yang maju dan menguntungkan masyarakat secara keseluruhan. Iklim bisnis yang ramah menarik investasi dan menstimulasi kewirausahaan yang pada gilirannya akan menciptakan pertumbuhan ekonomi dan pekerjaan berkualitas dengan gaji memadai.
3. Pembuat peraturan, birokrat dan administratur yang apabila diberikan informasi yang solid mengenai tujuan utama dari kebijakan dan peraturan tertentu akan dapat mengimplementasikan dan menegakkan peraturan tersebut dengan lebih baik.
4. Khalayak umum termasuk para anggota asosiasi bisnis yang mempengaruhi pembuatan kebijakan. Dengan memiliki akses terhadap informasi kunci tentang kebijakan tertentu dapat mendidik anggota asosiasi bisnis dan publik berkenaan dengan kebijakan yang mempengaruhi mereka dan membantu mereka mengetahui apa yang dilakukan oleh pejabat terpilih —atau yang gagal dilakukan— atas nama mereka. Warga masyarakat dan asosiasi bisnis selanjutnya akan menganggap wakil rakyat ini dapat mengemban tanggung jawab.

F. Sasaran Advokasi
Sasaran utama dari kegiatan advokasi adalah ”mengubah kebijakan publik” (bukan hanya sekadar beracara di pengadilan). Jadi obyek utama kegiatan advokasi adalah kebijakan publik sehingga menjadi penting memahami suatu kebijakan publik. Di sini dijelaskan salah satu cara memahami kebijakan publik adalah dengan melihat kebijakan sebagai suatu ”sistem hukum” (system of law) yang terdiri dari:
• Isi hukum (content of law); uraian atau penjabaran tertulis dari suatu kebijakan yang tertuang dalam bentuk perundang-undangan, peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan pemerintah.
• Tata laksana hukum (structure of law); semua perangkat kelembagaan dan pelaksana dari isi hukum yang berlaku termasuk lembaga-lembaga hukum (pengadilan, penjara, birokrasi pemerintahan, partai politik, dll) dan aparat pelaksananya (hakim, jaksa, pengacara, polisi, tentara, pejabat pemerintah, anggota legislatif dll).
• Budaya hukum (culture of law); persepsi, pemahaman, sikap penerimaan, praktek – praktek pelaksanaan, penafsiran terhadap dua aspek sistem hukum di atas; isi dan tata laksana hukum, termasuk bentuk – bentuk tanggapan (reaksi, response) masyarakat luas terhadap pelaksanaan isi dan tata laksana hukum tersebut (aspek kontekstual dari sistem hukum yang berlaku).
Program advokasi harus mencakup perubahan sasaran ketiga aspek hukum tersebut karena faktanya perubahan aspek isi hukum tidak serta merta membuat aspek tata laksana dan budaya hukum ikut berubah sesuai dengan isi hukum tersebut, begitu juga sebaliknya. Kegiatan advokasi yang baik adalah yang secara sengaja dan sistematis memang dirancang untuk mendesakkan terjadinya perubahan baik dalam isi, tata laksana maupun budaya hukum yang berlaku. Namun dalam prakteknya, perubahan yang terjadi bisa saja bertahap dari isi hingga budaya hukum, dalam hal ini penentuan strategi dan prioritas-lah yang paling menentukan aspek mana yang didahulukan.