Monday, November 9, 2009

makalah motivasi psikologi industri

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam suatu organisasi, motivasi dan disiplin kerja, termasuk hal yang paling penting demi kelancaran organisasi tersebut. Disiplin kerja merupakan alat untuk berkomunikasi untuk dapat mencapai sebuah tujuan bersama yang dipakai oleh atasan dengan bawahan maupun oleh sesama pegawai dalam suatu organisasi atau dalam lingkup sebuah kantor.
Ada kalanya pegawai atau karyawan melakukan pelanggaran untuk itu diperlukan disiplin kerja agar dapat memperbaiki perilaku-perilaku menyimpang dari pegawai atau karyawan tersebut.
Setelah terwujudnya motivasi kerja maka akan timbul disiplin kerja yang baik. Untuk mewujudkan keduanya, maka diperlukan adanya kerjasama antara atasan dan para pegawai bawahannya, agar tercipta lingkungan kerja yang kondusif untuk mendukung kinerja para pegawai secara maksimal di dalam organisasi ataupun perusahaan tersebut.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari makalah yang kami buat adalah sebagai berikut :
1. Apa definisi motivasi kerja?
2. Bagaimana terjadinya proses motivasi?
3. Apa saja jenis-jenis motivasi menurut teori?
4. Apa defenisi dari disiplin kerja?
5. Bagaimana bentuk-bentuk disiplin kerja tersebut?
6. Bagaimana pendekatan-pendekatan disiplin kerja?
7. Bagaimana bentuk sanksi pelanggaran disiplin kerja dan pelaksanaan sanksi tersebut terhadap pelanggar disiplin kerja?
C. Tujuan dan Manfaat Pembahasan
Tujuan dan manfaat dari pembuatan makalah ini, yaitu:
1. Untuk memenuhi salah satu tugas kelompok dari mata kuliah Psikologi Industri dan Organisasi
2. Untuk menjawab rumusan masalah yang ada.
3. Salah satu sarana menambah wawasan bagi mahasiswa Psikologi khususnya dan diharapkan dapat juga membantu masyarakat yang membutuhkan informasi mengenai motivasi dan disiplin kerja.
D. Metode Pembahasan
Metode pembahasan yang digunakan dalam pembentukan makalah ini yaitu dengan menjabarkan secara rinci mengenai berbagai teori motivasi dan masalah disiplin kerja para pegawai. Dalam pembahasannya diawali dengan mencari data yang mendukung tentang motivasi dan disiplin kerja pegawai melalui kajian pustaka dan pencarian data di internet, kemudian setelah itu merumuskan data yang sudah didapat dan membahasnya sesuai dengan rumusan masalah yang ada.


BAB II
TINJAUAN TEORITIS

Motivasi
Motivasi adalah proses dimana kebutuhan-kebutuhan mendorong seseorang untuk melakukan serangkaian kegiatan yang mengarah ke tercapainya tujuan tertentu. Dengan kebutuhan dimaksudkan suatu keadaan dalam diri (internal state) yang menyebabkan hasil-hasil atau keluaran –keluaran tertentu menjadi menarik. Misalnya, rasa haus menyebabkan kita tertarik pada air segar.
Proses motivasi
Kelompok kebutuhan yang belum dipuaskan ketegangan dorongan

Reduksi dari ketegangan tujuan yang telah melakukan serangkaian kegiatan
tercapai (kebutuhan yang telah dipuaskan)
sekelompok kebutuhan yang belum dipuaskan menciptakan suatu ketegangan yang menimbulkan dorongan-dorongan untuk melakukan serangkaian kegiatan untuk menemukan dan mencapai tujuan-tujuan khusus yang akan memuaskan sekelompok kebutuhan tadi yang berakibat berkurangnya ketegangan. Perilaku mencari merupakan perilakuyang aktif atau proaktif, mencari seseuatu yang dapat memenuhi kebutuhan dapat pula merupakan perilaku yang lebih reaktif. Lingkungan yang menyodorkan sesuatu dapat memnuhi kebutuhan. Misalnya kalau kita lapar, kita mencari makanan.
Pada waktu melakukan perilaku mencari secara aktif, motivasi ‘didorong keluar’. Pada waktu perilaku mencari bersifat lebih reaktif, motivasi ‘ditarik keluar’.
Kaitan motivasi kerja dengan unjuk kerja
Kaitan motivasi kerja dengan unjuk kerja dapat diungkapkan sebagai berikut: unjuk kerja (performance) adalah hasil dari interaksi antara motivasi kerja, kemampuan (abilities), dan peluang (opportunities), dengan kata lain unjuk kerja dalah fungsi dari motivasi kerja kali kemampuan kali peluang (Robins,2000).
Unjuk kerja = f Motivasi kerja x Kemampuan x Peluang
Bila motivasi kerja rendah, maka unjuk kerjanya akan rendah pula meskipun kemampuannya ada dan baik, serta peluangnya pun tersedia. Motivasi kerja seseorang dapat lebih bercorak proaktif atau reaktif. Pada motivasi kerja yang proaktif oaring akan berusaha untuk meningkatkan kemampuan-kemampuannya sesuai denagn yang dituntut oleh pekerjaannya dan/atau akan berusaha untuk mencari, menemukan dan menciptakan peluang dimana ia dapat menggunakan kemampuan-kemampuannya untuk dapat berunjuk-kerja yang tinggi.
Teori-teori motivasi
Banyak teori motivasi yang telah dikembangkan. Dari teori-teori motivasi yang ada, ada yang lebih menekankan pada ‘apa’ yang memotivasi tenaga kerja, yaitu teori motivasi isi dan ada yang memusatkan perhatiannya pada ‘bagaimana’ proses motivasi berlangsung, yaitu teori motivasi proses. Teori motivasi ini berkeyakinan tentang adanya kondisi internal dalam individu yag dinamakan kebutuhan atau motif. Teori motivasi terbagi dua yaitu teori motivasi isi dan teori motivasi proses. Teori motivasi isi terdiri dari teori motivasi tata tingkat kebutuhan, teori eksistensi relasi pertumbuhan, teoir dua factor, teori motivasi berprestasi,. Sedangkan teori motivasi proses terdiri dari teori pengukuhan, teori tujuan, teori expectancy, dan teori equity.
Teori Motivasi
a. Teori Tata Tingkat Kebutuhan
Teori tata tingkat kebutuhan dari Maslow mungkin merupakan teori motivasi kerja yang paling luas dikenal. Maslow berpendapat bahwa kondisi manusia berada dalam kondisi mengejar yang berkesinambungan. Jika satu kebutuhan dipenuhi, langsung kebutuhan tersebut diganti oleh kebutuhan lain. Proses berkeinginan secara nonstop memotivasi kita sejak lahir sampai meninggal. Maslow selanjutnya mengajukan bahwa ada lima kelompok kebutuhan, yaitu kebutuhan faali (fisiologikal), rasa aman, sosial, harga diri, dan aktualisasi diri. Kebutuhan-kebutuhan tersebut disusun secara tata tingkat sebagaimana diperlihatkan dalam gambar 9.5.
Menurut maslow, individu dimotivasi oleh kebutuhan yang belum dipuaskan, yang paling rendah, paling dasar dalam tata tingkat. Begitu tingkat kebutuhan ini dipuaskan, ia tidak akan lagi memotivasi perilaku. Kebutuhan pada tingkat berikutnya yang lebih tinggi menjadi dominan. Dua tingkat kebutuhan dapat beroperasi pada waktu yang sama, tetapi kebutuhan pada tingkat lebih rendah yang dianggap menjadi motivator yang lebih kuat dari perilaku. Maslow juga menekankan bahwa makin tinggi tingkat kebutuhan, makin tidak penting ia untuk mempertahankan hidup (survival) dan makin lama pemenuhannya dapat ditunda.
1. Kebutuhan fisiologikal (faali). Kebutuhan yang timbul berdasarkan kondisi fisiologikal badan kita, seperti kebutuhan untuk makanan dan minuman, kebutuhan akan udara segar (oksigen). Kebutuhan fisiologikal merupakan kebutuhan primer atau kebutuhan dasar yang harus dipenuhi. Jika kebutuhan ini tidak dipenuhi, maka individu berhenti eksistensinya.
2. Kebutuhan rasa aman. Kebutuhan ini masih sangat dekat dengan kebutuhan fisiologis. Kebutuhan ini mencakup kebutuhan untuk dilindungi dari bahaya dan ancaman fisik. Dalam pekerjaan, kita jumpai kebutuhan ini dalam bentuk ’rasa asing’ sewaktu menjadi tenaga kerja baru, atau sewaktu pindah ke kota baru.
3. Kebutuhan sosial. Kebutuhan ini mencakup memberi dan menerima persahabatan, cinta kasih, rasa memiliki (belonging). Setiap orang ingin menjadi anggota kelompok sosial, ingin mempunyai teman, kekasih. Dalam pekerjaan kita jumpai kelompok informal yang merupakan kegiatan untuk memenuhi kebutuhan sosial seorang tenaga kerja.
4. Kebutuhan harga diri (esteem needs). Kebutuhan harga diri meliputi dua jenis:
a. yang mencakup faktor-faktor internal, seperti kebutuhan harga diri, kepercayaan diri, otonomi, dan kompetensi.
b. yang mencakup faktor-faktor eksternal kebutuhan yang mencakup reputasi seperti mencakup kebutuhan untuk dikenali dan diakui (recognition), dan status.
5. Kebutuhan aktualisasi diri. Kebutuhan untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan kemampuan yang dirasakan dimiliki. Kebutuhan ini mencakup kebutuhan untuk menjadi kreatif, kebutuhan untuk dapat merealisasikan potensinya secara penuh. Kebutuhan ini menekankan kebebasan dalam melaksanakan tugas pekerjaannya.
Penelitian tidak secara jelas mendukung teori tata tingkat kebutuhan Maslow ini. Kreitner & Kinicki (1992) mengutip kesimpulan dari Pinder (1984:52):
” Maslow theory remains very popular among managers students of organizational behaviour, although there are still very few studies that can legitimately confirm (or refute) it. . . . . It may be that the dynamic implied by Maslow’s theory of needs are too complex to be operationalized and confirmend by scientific research. If this is the case, we may never be able to determine how valid the theory is, or – more precisely – which aspect of the theory are valid and which are not” .
Teori tata tingkat kebutuhan dari Maslow ini tidak mencerminkan adanya kebutuhan-kebutuhan yang mengarah ke motivasi kerja yang proaktif ataupun yang reaktif.
Dalam situasi dan kondisi situasi tertentu, kebutuhan-kebutuhan pada teori tata tingkat kebutuhan ini dapat menimbulkan motivasi proaktif dan dapat menimbulkan motivasi reaktif. Sistem nilai-nilai yang dimiliki individu dan corak rangsang lingkungan individu yang menentukan motivasi lebih bercorak proaktif atau reaktif. Misalnya, jika nilai “bekerja adalah mulia” merupakan nilai yang sangat dipentingkan dalam sistem nilai pribadi sesorang, maka motivasi kerjanya cenderung bercorak proaktif. Sebaliknya jika nilai tertinggi dalam sistem nilainya adalah “taat kepada atasan”, maka motivasi kerjanya akan cenderung bercorak pasif. Pekerjaan dilaksanakan sesuai dengan apa yang diinginkan oleh atasan.
Lingkungan kerja besar pula pengaruhnya terhadap corak motivasi kerja seseorang. Paksaan yang dirasakan oleh seseorang tenaga kerja untuk mementingkan ketaatan terhadap atasan dapat menghasilkan motivasi kerja yang lebih reaktif coraknya. Sebaliknya lingkungan kerja dapat pula merangsang timbulnya motivasi kerja yang proaktif.
b. Teori Eksistensi-Relasi-Pertumbuhan
Teori motivasi ini yang dikenal sebagai motivasi ERG sebagai singkatan dari Existence, Relatedness, dan Growth needs, dikembangkan oleh Alderfer, dan merupakan satu modifikasi dan reformulasi dari teori tata tingkat kebutuhan dari Maslow. Alderfer mengelompokkan kebutuahn ke dalam tiga kelompok:
1. Kebutuhan eksistensi ( existence needs ), merupakan kebutuhan akan substansi material seperti keinginan untuk memperoleh makanan, air, perumahan, uang, mebel, dan mobil. Kebutuhan ini mencakup kebutuhan fisiologikal dan kebutuhan rasa aman dari Maslow.
2. Kebutuhan hubungan ( relatedness needs ), merupakan kebutuhan untuk membagi pikiran dan perasaan dengan orang lain dan membiarkan mereka menikmati hal-hal yang sama dengan kita. Individu berkeinginan untuk berkomunikasi secara terbuka dengan orang lain yang dianggap penting dalam kehidupan mereka dan mempunyai hubungan yang bermakna dengan keluarga, teman, dan rekan kerja. Kebutuhan ini mencakup kebutuhan sosial dan bagian eksternal dari kebutuhan esteem (penghargaan) dari Maslow .
3. Kebutuhan pertumbuhan (growth needs), merupakan kebutuhan-kebutuhan yang dimiliki seseorang untuk mengembangkan kecakapan mereka secara penuh. Selain kebutuhan aktualisasi diri, juga mencakup bagian intrinsik dari kebutuhan harga diri dari Maslow.
Teori ERG menyatakan bahwa kebutuhan-kebutuhan eksistensi, hubungan dan pertumbuhan terletak pada satu kesinambungan kekonkretan, dengan kebutuhan eksistensi sebagai kebutuhan yang paling konkret dan kebutuhan pertumbuhan sebagai kebutuhan paling kurang konkret (abstrak). Beberapa dasar pikiran dari teori ini ialah bahwa: (1) makin lengkap satu kebutuhan yang lebih konkret dipuasi, makin besar keinginan/dorongan untuk memuaskan kebutuhan yang kokret/abstrak, dan (2) makin kurang lengkap satu kebutuhan dipuasi, makin besar keinginannya untuk memuaskannya.
Sesuai dengan teori maslow, teori Alderefr ini menganggap bahwa fulfillment-progression (maju ke pemenuhan kebutuhan yang lebih tinggi tingkatannyasesudah kebutuhan pada tingkat yang lebih rendah dipuasi) juga penting. Menurut Alderfer, jika kebutuhan tingkat yang lebih tinggi tidak dapat dipuasi, maka individu me-regress, kembali ke usaha untuk memuaskan kebutuhan pada tingkat yang lebih rendah. Gejala ini ia namakan frustration-regression.
Teori ERG dari Aldefer ini, sama seperti teori tata tingkat kebutuhan dari Maslow, tidak mencerminkan adanya kebutuhan-kebutuhan yang mengarah ke motivasi kerja yang proaktif ataupun yang reaktif.
c. Teori Dua Faktor
Teori dua faktor juga dinamakan teori hygiene-motivasi dikembangkan oleh Herzberg. Dengan menggunakan metode insiden kritikal, ia mengumpulkan data dari 203 akuntan dan sarjana teknik. Ia tanyakan kepada mereka untuk mengingat kembali saat-saat mereka merasakan sangat senang atau sangat tidak senang dengan pekerjaan mereka, apa saja yang menentukan rasa demikian dan dampaknya terhadap unjuk-kerja dan rasa secara menyeluruh dari kesehatan.
Ia temukan bahwa faktor-faktor yang menimbulkan kepuasan kerja berbeda dengan faktor –faktor yang menimbulkan ketidakpuasan kerja. Faktor-faktor yang menimbulkan kepuasan kerja, yang ia namakan faktor motivator, mencakup faktor-faktor yang berkaitan dengan isi dari pekerjaan, yang merupakan faktor intrinsik dari pekerjaan yaitu:
1. Tanggung jawab (responsibility), besar kecilnya tanggung jawab yang dirasakan diberikan kepada seorang tenaga kerja;
2. Kemajuan (advancement), besar kecilnya kemungkinan tenaga kerja dapat maju dalam pekerjaannya;
3. Pekerjaan itu sendiri, besar kecilnya tantangan yang dirasakan tenaga kerja dari pekerjaannya;
4. Capaian (achievement), besar kecilnya kemungkinan tenaga kerja mencapai prestasi kerja yang tinggi;
5. Pengakuan (recognition), besar kecilnya pengakuan yang diberikan kepada tenaga kerja atas unjuk-kerjanya.
Jika faktor-faktor tersebut tidak (dirasakan) ada, tenaga kerja, menurut Herzberg, merasa not satisfied (tidak lagi puas), yang berbeda dari dissatisfied (tidak puas).
Kelompok faktor yang lain yang menimbulkan ketidakpuasan, berkaitan dengan konteks dari pekerjaa, dengan faktor-faktor ekstrinsik dari pekerjaan, dan meliputi faktor-faktor:
1. Administrasi dan kebijakan perusahaan, derajat kesesuaian yang dirasakan tenaga kerja dari semua kebujakan dan peraturan yang berlaku dalam perusahaan;
2. Penyeliaan, derajat kewajaran penyeliaan yang dirasakan diterima oleh tenaga kerja;
3. Gaji, derajat kewajaran dari gaji yang diterima sebagai imbalan unjuk-kerjanya;
4. Hubungan antarpribadi, derajat kesesuaian yang dirasakan dalam berinteraksi dengan tenaga kerja lainnya;
5. Kondisi kerja, derajat kesesuaian kondisi kerja dengan proses pelaksanaan tugas pekerjaannya
Kelompok faktor ini dinamakan kelompok hygiene. Kalau faktor-faktor dirasakan kurang atau tidak diberikan, maka tenaga kerja akan merasa tidak puas (dissatisfied). Tenaga kerja akan banyak mengeluh. Jika faktor-faktor hygiene dirasakan ada atau diberikan, maka yang timbul bukanlah kepuasan kerja, tetapi menurut herzberg, not dissatisfied atau tidak lagi tidak puas.
Jika dibandingkan dengan teori tata tingkat kebutuhan dari Maslow, maka kita dapati bahwa kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan faktor-faktor motivasi merupakan kebutuhan-kebutuhan dari tingkat-tingakat tinggi, yaitu: kebutuhan harga diri dan aktualisasi diri. Sedangkan kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan faktor-faktor hygiene merupakan kebutuhan-kebutuhan dari tingkat-tingkat yang rendah, yaitu kebutuhan fisiologis, rasa aman, dan sosial.
Faktor-faktor yang termasuk dalam kelompok faktor motivator cenderung merupakan faktor-faktor yang menimbulkan motivasi kerja yang lebih bercorak proaktif, sedangkan faktor-faktor yang termasuk dalam kelompok faktor hygiene cenderung menghasilkan motivasi kerja yang lebih reaktif.
d. Teori Motivasi Berprestasi ( achievement motivation)
Teori motivasi berprestasi dikembangkan oleh David McClelland. Sebenarnya lebih tepat teori ini disebut teori kebutuhan dari McClelland, karena ia tidak saja meneliti tentang kebutuhan untuk berprestasi, tapi juga tentang kebutuhan untuk berkuasa, dan kebutuhan untuk berafiliasi / berhubungan. Penelitian paling banyak dilakukan terhadap kebutuhan untuk berprestasi.
Kebutuhan untuk berprestasi ( Need for Achievement).
Ada sementara orang yang memiliki dorongan kuat untuk berhasil. Mereka lebih mengejar prestasi pribadi daripada imbalan terhadap keberhasilan. Mereka bergairah untuk melakukan sesuatu lebih baik dan lebih efisien dibandingkan hasil sebelumnya. Dorongan ini disebut kebutuhan untuk berprestasi ( the achieveemnt need = nAch). McClelland menemukan bahwa mereka dengan dorongan prestasi yang tinggi dari orang lain dalam keinginan kuat mereka untuk melakukan hal-hal yang lebih baik. Mereka mencari kesempatan-kesempatan dimana mereka memiliki tanggung jawab pribadi dalam menemukan jawaban-jawaban terhadap masalah-masalah. Mereka yang memiliki kebutuhan akan berprestasi yang tinggi lebih menyukai pekerjaan-pekerjaan dimana mereka memiliki tanggung jawab, akan memperoleh balikan dan tugas pekerjaanya memiliki resiko yang sedang (moderate). Mereka bukan pemain judi, mereka tidak suka berhasil secara kebetulan. Tujuan-tujuan yang ditetapkan merupakan tujuan yang tidak terlalu sulit dicapai dan juga bukan tujuan yang terlalu mudah dicapai. Tujuan yang harus dicapai merupakan tujuan dengan derajat kesulitan menengah ( moderate).
Dalam penelitiannya, McClelland menemukan bahwa mereka yang memiliki nAch yang tinggi ialah para wirausaha yang berhasil. Sebaliknya ia tidak menemukan adanya manaje dengan kebutuhan untuk berprestasi yang tinggi.
Kebutuhan untuk berkuasa (Need for Power).
Adanya keinginan yang kuat untuk mengendalikan orang lain, untuk mempengaruhi orang lain, dan untuk memiliki dampak terhadap orang lain. Orang dengan kebutuhan untuk berkuasa yang besar menyukai pekerjaan –pekerjaan dimana mereka menjadi pimpinan, dan mereka berupaya mempengaruhi orang lain. Hasil penelitian menunjukkan para eksekutif puncak, para manajer, memiliki kebutuha untuk berkuasa yang besar.

Kebutuhan untuk berafiliasi ( Need for Affiliation)
Kebutuhan ini yanga paling sedikit mendapat perhatian dan paling sedikit diteliti. Orang-orang dengan kebutuhan berafiliasi yang tinggi adalah orang-orang yang berusaha mendapatkan persahabatan. Mereka ingin disukai dan diterima oleh orang lain. Mereka lebih menyukai situasi-situasi kooperatif daripada situasi kompetitif, dan sangat menginginkan hubungan-hubungan yang melibatkan saling pengertian dalam derajat yang tinggi. Mereka akan berusaha untuk menghindari konflik.
McClelland menggunakan beberapa teori dari TematicApperception Test (TAT) untuk mengetahui tinggi rendahnya kebutuhan untuk berprestasi. Orang diminta untuk membuat cerita setelah diperlihatkan gambar TAT selama beberapa menit. Ada tiga pertanyyan dasar yang diajukan, yaitu : 1. Apa yang anda lihat pada gambar, 2. Apa yang telah terjadi sebelumnya, 3. Apa yang akan terjadi. Dari jawaban-jawaban dapat disimpulkan tinggi rendahnya kebutuhan utnuk berprestasi.
Di indonesia telah dikembangkan beberapa inventory yang khusus mengukur kebutuhan untuk berprestasi, yang digunakan dalam berbagai penelitian, terutama penelitian para wirausaha dari berbagai bidang kegiatan. Orang yang memiliki kebutuhan untuk berprestasi, kebutuhan untuk berkuasa, dan kebutuhan untuk berafiliasi yang tinggi sekaligus akan memiliki motivasi kerja yang proaktif. Sedangkan yang memiliki ketiga macam kebutuhan dalam derajat yang rendah akan memiliki corak motivasi kerja yang reaktif.

Teori Motivasi Proses
a. Teori Pengukuhan
Teori pengukuhan berhubungan dengan teori belajar operant conditioning dari skinner. Teori ini mempunyai dua aturan pokok : aturan yang berhubungan dengan pemerolehan jawaban-jawaban yang benar, dan aturan pokok lainnya berhubungan dengan penghilangan jawaban-jawaban yang salah.
Pemerolehan dari suatu perilaku menuntut adanya suatu pengukuhan sebelumnya. Pengukuhan dapat terjadi positif (pemberian ganjaran untuk satu jawaban yang diinginkan) atau negati ( menghilangkan satu rangsang aversif jika jawaban yang diinginkan telah diberikan), tetapi organisme harus membuat kaitannya antara aksi atau tindakannya dengan akibat-akibatnya.
Jika jawaban yang diinginkan belum dimiliki oleh organisme, maka jawaban tersebut perlu dibentuk. Pembentukan berlangsung jika jawaban-jawaban yang mendekati jawaban-jawaban yang benar, pada awlnya dikukuhkan. Secara bertahap pengukuhan positif hanya diberikan jika perilaku yang mendekati jawaban yang benar makin mendekat, sehngga akhirnya jawaban khusus yang diinginkan saja yang dikukuhkan. Misalnya, sewaktu anak belajar bicara. Dalam usahanya mengucapkan kata, jika kedengarannya sudah seperti kata yang harus ia ucapkan kita memujinya. Makin lama ia mengucapkan kata-kata dan kalimat yang benar, sehingga waktu ia sudah dapat mengucapkan kata-kata dengan jelas dan tepat dan berbicara dengan kalimat penndek yang tepat, kita hanya memujinya jika ia lwkukan demikian.
Pemerolehan tinmbul cepat jika pengyukuhan diberikan secara bersinambung. Artinya jawaban yang tepat diganjari setelah setiap kejadian. Namun dalam kehidupan sehari-hari pemberian pengukuhan pada umumnya berjalan secara tidak berkesinambung, secara ‘tersendat-sendat’ (patrial reinforcement), dimana hanya presentase tertentu dari jawaban yang benar yang diganjari. Pengukuhan yang tersendat-sendat berakibat perolehan yang lebih lambat. Sebaliknya pengukuhan tersendat-sendat berakibat pula lambatnya penghilangan dari perilaku. Kadangkala pengukuhan tersendat-sendta diberikan dalam interval yang berlangsung secara teratur. Misalnya pembayaran gaji tenaga kerja( pengukuhan ) dilaksanakan dalam interval waktu yang berlangsung secara teratur, dengan jadwal periodik yang teratur ( secara bulanan, harian). Pengukuhan ini berlangsung tersendat-sendat karena dimaksudkan untuk menghargai unjuk-kerja tenaga kerja yang baik yang terjadi selama periode penggajian, tidak hanya untuk unjuk kerjanya pada hari pembayaran gaji.
Menurut aturan pokok teori ini jawaban-jawaban yang tidak dikukuhkan atau yang dihukum akan hilang. Untuk penghilangan jawaban yang salah tidak disarankan untuk menggunakan hukuman karena adanya akibat sampinga, yaitu kemungkinan timbulnya rasa ketakutan dan rasa permusuhan. Untuk penghilangan jawaban yang salah disarankan untuk tidak menghiraukan jawaban-jawaban tersebut. Pembelajaran yang berlangsung berdasarkan pemberian pengukuhan yang berkesinambungan akan lebih cepat dapat hilang dibandingkan dengan pemberian pengukuhan yang tersendat-sendat. Siegel dan Lane memberikan contoh dari kebiasaan untuk melihat ke bis surat apakah ada surat untuk kita atau tidak (terutama jika kita berada ditempat yang baru, jauh dari kenalan dan keluarga). Meskipun tidak setiap hari kita meenerima surat (pengukuhan), kita tetap setiap hari melihat ke bis surat. Perilaku ini memerlukan waktu yang lama untuk hilang.
Siegel dan Lane (1982), mengutip Jablonske dan de Vries, memberi saran bagaimana manajemen dapat meningkatkan motivasi kerja tenaga kerja, yaitu dengan:
1. Menentukan apa jawaban yang diinginkan
2. Mengkomunikasikan denga jelas perilaku ini kepada tenaga kerja
3. Mengkomunikasikan dengan jelas ganjaran apa yang akan diterima tenaga kerja jika jawaban yang benar terjadi
4. Memberi ganjaran hanya jika jawaban yang benar yang dilaksanakan
5. Memberikan ganjaran kepada jawaban yang diinginkan pada saat yang paling memungkinkan, yang terdekat dengan kejadiannya
Pada dasranya teori pengukuhan ini didasarkan pada asumsi bahwa corak motivasi kerja adalah reaktif. Melalui proses pengukuhan tertentu, yang merupakan proses pembelajaran, sebagaimana disarankan oleh Jablonske dan de Vries, individu diajarkan untuk memiliki motivasi kerja yang lebih proaktif.

b. teori penetapan tujuan ( goal setting theory)
Locke mengusulkan model kognitif, yang dinamakan teori tujuan, yang mencoba menjelaskan hubungan-hubungan antara niat denga perilaku.
Teori ini secara relatif lempang dan sederhana. Aturan dasranya ialah penetapan dari tujuan-tujuan secara sadar. Menurt Locke, tujuan –tujuan yang cukup sulit khusus dan yang pernyataannya jelas dan dapat diterima oleh tenaga kerja, akan menghaislkan unjuk-kerja yang lebih tinggi daripada tujuan-tujuan yang taksa, tidak khusus, dan yang mudah dicapai. Teori tujuan, sebagaimana dengan teori keadilan didasrakan pada dasra intuitif yang solid. Penelitian-penelitian yang diadasarkan pada teori ini menggambarkan kemanfaatannya bagi organisasi.
Manajemen berdasarkan sasaran (management by objectives =MBO) menggunakan teori penetapan tujuan ini. Berdasarkan tujuan-tujuan perusahaan, secara berurutan, disusun tujuan-tujuan untuk divisi, bagian sampai satuan kerja yang terkecil untuk diakhiri penetapan sasaran kerja untuk setiap karyawan dalam kurun waktu trtentu.
Penetapan tujuan dapat ditemukan juga dalam teori motivasi harapan. Individu menetapkan sasaran pribadi yang ingin dicapai. Sasaran-sasaran pribadi memiliki nilai kepentngan pribadi (valence) yang berbeda-beda.
Proses penetapan tujuan (goal setting) dapat dilakukan berdasarkan prakarsa sendiri, dapat seperti pada MBO, diwajibkan oleh orgainisasi sebagai suatu kebijakan perusahaan. Bila didasarkan oleh prakarsa sendiri dapat disimpulkan bahwa motivasi kerja individu bercorak proaktif dan ia akan memiliki keikatan (commitment)besar untuk berusaha mencapai tujuan-tujuan yang telah ia tetapkan. Bila seorang tenaga kerja memiliki motivasi kerja yang lebih bercorak reaktif, pada saat ia diberi tugas untuk menetapkan sasaran-sasaran kerjanya untuk kurun waktu tertentu, dapat terjadi bahwa keikatan terhadap usaha mencapai tujuan tersebut tidak terlalu besar.

c. Teori Harapan
Sejak dikembangkan oleh Vroom, teori harapan dikembangkan kebih lanju oleh ahli lain, antara lain oleh Poerter dan Lawler. Dalam pembahasan teori harapan selanjutnya akan dikemukakan teori harapan yang dikembangkan oleh Lawler berdasarkan pengembangan lebih lanjut dari model model Porter-Lawler (1968), sebagaimana disajikan oleh Siegel dan Lane (1982).
Model teori harapan dari Lawler mengajukan empat asumsi :
1. Orang yang mempunyai pilihan-pilihan antara berbagai hasil keluaran yang secara potensial dapat mereka gunakan. Dengan perkataan lain, setiap hasil keluaran alternatif mempunyai harkat (valence=V), yang mengacu pada ketertarikannya bagi seseorang. Hasil keluaran alternatif juga disebut tujuan-tujuan pribadi (personal goals), dapat disadari atau tidak disadari oleh yang bersangkutan. Jika disadari, maknanya serupa dengan penetapan tujuan-tujuan. Jika tidak disadari, motivasi kerjanya lebih bercorak reaktif.
2. Orang mempunyai harapan-harapan tentang kemungkinan bahwa upaya (effort=E) mereka akan mengarah ke perilaku unjuk-kerja (performance=P) yang dituju. Ini diungkapkan sebagai harapan E-P.
3. Orang mempunyai harapan-harapan tentang kemungkinan bahwa hasil-hasil keluaran (outcomes=O) tertentu akan diperoleh setelah unjuk-kerja (P) mereka. Ii diungkapkan dalam rumusan harapan P-O.
4. Dalam setiap situasi, tindakan-tindakan dan upaya yang berkaitan dengan tindakan-tindakan tadi yang dipilih oleh seseorang untuk dilaksanakan ditentukan oleh harapan-harapan (E-P, dan P-O) dan pilihan pilihan yang dipunyai orang pada saat itu.

Model harapan dari Lawler menyatakan bahwa besar kecilnya motivasi seseorang dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :
Indeks motivasi = jml { (E-P) x jml [(P-O)(V)]}

Menurt Lawler, faktor-faktor yang menentukan E-P (kemungkinan besarnya upaya menyebabkan tercapainya unjuk-kerja yang diinginkan) ialah harga diri atau kepercayaan diri, pengalaman lampau dalam situasi serupa, situasi sekarang yang aktual, komunikasi (informasi dan persepsi) dari orang lain. Misalnya P, unjuk kerja yang vdiinginkan adalah nilai A untuk mata ujian psikologi industri. Kepercayaan diri anda besar akan kemampuan menguasai mata pelajaran ini. Pengalaman yang lampau menunjukkan bahwa jumlah 20 jam diperlukan mempelajari bahan mata ujian yang diperkirakan sama beratnya. Laam ujian dua jam, sama dengan mata ujian lainnya. Persepsi orang lain terhadap anda ialah bahwa anda mampu menguasai bahan psikologi industri. Anda mempunyai pilihan untuk mencapai nilai A, B, atau C. jika ingin mendapat nilai A, maka anda akan menyediakan waktu belajar selama 20 jam untuk mempelajari bahan psikologi industri.
Besar kecilnya harapan P-O ( sebesar apa kemungkinannya untuk mendapat berbagai hasil keluaran jika mencapai unjuk kerja tertentu) juga ditentukan oleh berbagai faktor, yaitu penga;laman yang lalu dalam situasi yang serupa, ketertarikan dari hasil keluaran, kepercayaan dalam kendali internal melawan eksternal, harapa-harapan E-P, situasi aktual dan komunikasi dari orang lain. Tercapainya unjuk kerja yang diinginkan tidak menyababkan adanya kebutuhan yang dipenuhi. Tetapi dengan tercapainya unjuk kerja tersebut akan terkait kemungkinan diperolehnya hasil keluaran yang memenuhi atau gagal; memenuhi kebutuhan-kebutuhan. Misalnya dengan dicapainya nilai A untuk psikologi industri diharapkan akan diperoleh kepercayaan yang lebih besar dari orang lain (hasil keluaran yang positif), iri hati dari rekan-rekan seangkatan( hasil keluaran yang negatif), peningkatan kemudahan dan kelancaran dalam studi, penambahan teman untuk belajar bersama, makin besar kemungkinan untuk memperoleh promosi jabatan, dan sebagainya.
Komponen ketiga dari model Lwaler ialah harkat atau valence (V) yang mencerminkan bagaimana perasaan anda terhadap berbagai hasil keluaran. Hasi keluaran adalah positif, jika anda lebih ingin mencapainya daripada tidak ingin mencapainya, negatif, jika anda tidak ingin mencapainya, dan netral, jika anda tidak mempedulikan hasil keluarannya. Harkat diungkapkan dalam angka dan berkisar antara +1 sampai -1. Misalnya mendapat promosi jabatan mendapat harkat +0,9; sedangkan menimbulkan iri hati pada rekan seangkatan mungkin harkatnya -0,5.

d. Teori Keadilan (equity theory)
Teori keadilan yang dikembangkan oleh Adams bersibuk diri dengan memberi batasan tentang apa yang dianggap adil atau wajar oleh orang dalam kebudayaan kita ini, dan dengan reaksi-reaksi ereka kalau berada dalam situasi-situasi yang dipersepsikan sebagai tidak adil / wajar.
Salah satu asumsi dari Adams adalah bahwa jika orang melakukan pekerjaanya dengan imbalan gaji/ penghasilan, mereka memikirkan tentang apa yang mereka berikan pada pekerjaanya (masukan) dan apa yang mereka terima untuk keluaran kerja mereka. Masukan

Disipilin Kerja
Pengertian
 Disiplin berasal dari akar kata “disciple“ yang berarti belajar.
Disiplin merupakan arahan untuk melatih dan membentuk seseorang melakukan sesuatu menjadi lebih baik.
 Disiplin adalah suatu proses yang dapat menumbuhkan perasaan seseorang untuk mempertahankan dan meningkatkan tujuan organisasi secara obyektif, melalui kepatuhannya menjalankan peraturan organisasi.
 Menurut Keith Davis (1985-366) “Discipline is management action to enforce organization standards” yang artinya disiplin adalah pelaksana manajemen untuk memperteguh pedoman-pedoman organisasi.
Tujuan Disiplin
Difokuskan untuk mengoreksi penampilan kerja agar peraturan kerja dapat diberlakukan secara konsisten. Tidak bersifat menghakimi dalam memberlakukan hukuman atas tindakan indisipliner.

Pendekatan Disiplin Kerja
Terdapat tiga pendekatan disiplin kerja yaitu pendekatan disiplin modern, disiplin dengan tradisi dan disiplin bertujuan.
a. Pendekatan Disiplin Modern
Pendekatan disiplin modern adalah suatu bentuk pendekatan disiplin yang mempertemukan sejumlah keperluan atau kebutuhan baru diluar hukum, Pendekatan ini berasumsi bahwa :
• Disiplin modern merupakan suatu cara yang menghindari bentuk hukuman fisik.
• Melindungi tuduhan yang benar untuk diteruskan pada proses hukum yang berlaku.
• Keputusan-keputusan yang semaunya terhadap kesalahan atau prasangka harus diperbaiki dengan mengadakan proses penyuluhan dengan mendapatkan fakta-faktanya.
• Melakukan protes terhadap keputusan yang berat sebelah pihak terhadap kasus disiplin.
b. Pendekatan Disiplin dengan Tradisi
Pendekatan disiplin dengan tradisi adalah pendekatan disiplin dengan cara memberikan hukuman. Pendekatan ini berasumsi bahwa :
• Disiplin dilakukan oleh atasan kepada bawahan dan tidak pernah ada peninjauan kembali bila telah diputuskan.
• Disiplin adalah hukuman untuk pelanggaran, pelaksanannya disesuaikan dengan tingkat pelanggarannya.
• Pengaruh hukuman untuk memberikan pelajaran kepada pelanggar maupun kepada pegawai lainnya.
• Peningkatan perbuatan pelanggaran diperlukan hukuman yang lebih keras.
• Pemberian hukuman terhadap pegawai yang melanggar kedua kalinya harus diberikan hukuman yang lebih berat.
Pada dasarnya hukuman haruslah tepat untuk memusatkan perhatian pada kerasnya pelanggaran.
c. Pendekatan Disiplin Bertujuan
Pendekatan disiplin bertujuan berasumsi bahwa :
• Disiplin kerja harus diterima dan dipahami oleh semua pegawai.
• Disiplin bukanlah suatu hukuman tetapi merupakan pembentukan perilaku.
• Disiplin ditujukan untuk perubahan perilaku yang lebih baik
• Disiplin pegawai bertujuan agar pegawai bertanggungjawab terhadap perbuatannya.

Macam-macam Disiplin Kerja
Ada dua macam disiplin kerja, yaitu disiplin diri (self-dicipline) dan disiplin kelompok.
a. Disiplin Diri
Disiplin diri menurut Jasin (1989) dalam Helmi (1996) merupakan disiplin yang dikembangkan atau dikontrol oleh diri sendiri. Hal ini merupakan manifestasi atau aktualisasi dari tanggung jawab pribadi, yang berarti mengakui dan menerima nilai-nilai yang ada di luar dirinya. Melalui disiplin diri, karyawan-karyawan merasa bertanggung jawab dan dapat mengatur diri sendiri untuk kepentingan organisasi.
Disiplin diri merupakan hasil proses belajar (sosialisasi) dari keluarga dan masyarakat. Penanaman nilai-nilai yang menjunjung disiplin, baik yang ditanamkan oleh orang tua, guru ataupun masyarakat; merupakan bekal positif bagi tumbuh dan berkembangnya disiplin diri.
Penanaman nilai-nilai disiplin dapat berkembang apabila didukung oleh situasi lingkungan yang kondusif yaitu situasi yang diwarnai perlakuan konsisten dari orang tua, guru, atau pimpinan. Selain itu, orang tua, guru dan pimpinan yang berdisiplin tinggi merupakan model peran yang efektif bagi berkembangnya disiplin diri.
Disiplin diri sangat besar perannya dalam mencapai tujuan organanisasi. Melalui disiplin diri seorang karyawan selain menghargai dirinya sendiri juga menghargai orang lain. Misalnya jika karyawan mengerjakan tugas dan wewenang tanpa pengawasan atasan, pada dasarnya karyawa tersebut telah sadar melaksanakan tanggung jawab yang telah dipikulnya. Hal itu berarti karyawan sanggup melakasanakan tugasnya. Pada dasarnya ia menghargai potensi dan kemampuannya. Di sisi lain, bagi rekan sejawat, dengan diterapkannya disiplin diri, akan memperlancar kegiatan yang bersifat kelompok. Apalagi jika tugas kelompok tersebut terkait dengan dimensi waktu, ketidakdisiplinan dalam satu bidang kerja, akan menghambat bidang kerja lain.
Dapat disimpulkan bahwa ada beberapa manfaat yang dapat dipetik jika karyawan mempunyai disiplin diri yaitu:
a. Disiplin diri adalah disiplin yang diharapkan organisasi. Jika harapan organisasi terpenuhi karyawan akan mendapat reward dari organisasi, apakah itu dalam bentuk prestasi atau kompetisi lainnya.
b. Melalui disiplin diri merupakan bentuk penghargaan terhadap orang lain. Jika orang lain merasa dihargai, akan tumbuh penghargaan serupa dari orang lain pada dirinya. Hal ini semakin memperkukuh kepercayaan diri.
c. Penghargaan terhadap kemampuan diri. Hal ini didasarkan atas pandangan bahwa jika karyawan mampu melaksanakan tugas, pada dasarnya ia mampu mengaktualisasikan kemampuan dirinya. Hal itu berarti ia memberikan penghargaan pada potensi dan kemampuan yang melekat pada dirinya.

b. Disiplin Kelompok
Kegiatan organisasi bukanlah suatu kegiatan yang bersifat individual semata. Selain disiplin diri, masih dibutuhkan disiplin kelompok. Hal ini didasarkan atas pandangan bahwa di dalam kelompok kerja terdapat standar ukuran prestasi yang telah ditentukan, misalnya Simpati Air dengan On Flight Time Guarantee. Hal ini berarti setiap karyawan di Sempati akan berusaha semaksimal mungkin memenuhi standar prestasi tersebut. Semua karyawan berusaha agar pesawat dapat terbang tepat waktu, sehingga dapat dikatakan bahwa standar ukuran prestasi, salah satunya melalui disiplin yang diterapkan oleh pihak organisasi.
Bagaimana disiplin kelompok tersebut? Disiplin kelompok akan tercapai jika disiplin diri telah tumbuh dalam diri karyawan. Artinya kelompok akan menghasilkan pekerjaan yang optimal jika masing-masing anggota kelompok dapat memberikan andil yang sesuai dengan hak dan tanggung jawabnya. Maka jika satu diantara kelompok tidak bekerja sungguh-sungguh, maka kinerja kelompok akan terganggu.
Adakalanya, disiplin kelompok juga memberikan andil bagi pengembangan disiplin diri. Misalnya, jika hasil kerja dari kelompok mencapai target yang diinginkan dan karyawan mendapatkan penghargaan maka disiplin kelompok yang selama ini diterapkan dapat memberikan insight. Karyawan menjadi sadar arti pentingnya disiplin. Sedikit demi sedikit, nilai-nilai kedisiplinan kelompok akan diinternalisasi. Contoh yang lain, jika budaya atau iklim dalam organisasi tersebut menerapkan disiplin kerja yang tinggi, maka mau tidak mau karyawan akan membiasakan dirinya mengikuti irama kerja karyawan lainnya. Karyawan dibiasakan bertindak dengan cara berdisiplin. Kebiasaan bertindak disiplin ini merupakan awal terbentuknya kesadaran.
Kaitan antara disiplin diri dan disiplin kelompok dilukiskan oleh Jasin dalam Helmi (37:1996) seperti dua sisi dari satu mata uang. Keduanya saling melengkapi dan menunjang. Sifatnya komplementer. Disiplin diri tidak dapat dikembangkan secara optimal tanpa dukungan disiplin kelompok. Sebaliknya, disiplin kelompok tidak dapat ditegakkan tanpa adanya dukungan disiplin pribadi.

Faktor-Faktor Disiplin Kerja
Disiplin kerja merupakan suatu sikap dan perilaku. Pembentukkan perilaku jika dilhat dari formula Kurt Lewin adalah interaksi antara factor kepribadian dan factor lingkungan (situational).

a. Faktor Kepribadian
Faktor yang penting dalam kepribadian seseorang adalah system nilai yang dianut. System nilai dalam hal ini yang berkaitan langsung dengan disiplin. Nilai-nilai yang menjunjung tinggi disiplin yang diajarkan atau ditanamkan orang tua, guru, dan masyarakat akan digunakan sebagai kerangka acuan bagi penerapan didiplin di tempat kerja. System nilai akan terlihat dari sikap seseorang. Sikap diharapkan akan tercermin dalam perilaku.
Perubahan sikap ke dalam perilaku terdapat 3 tingkatan menurut Kelman (Brigham, 1994) yang dikutip dari Helmi (37:1996).
1. Disiplin karena Kepatuhan
Kepatuhan terhadap aturan-aturan yang didasarkan atas dasar perasaan takut. Disiplin kerja dalam tingkat ini dilakukan semata untuk mendapatkan reaksi positif dari pimpinan atau atasan yang memiliki wewenang. Sebaliknya, jika pengawas tidak ada di tempat, disiplin kerja tidak Nampak.

2. Disiplin karena Identifikasi
Kepatuhan aturan yang didasarkan pada identifikasi adalah adanya perasaan kekaguman atau penghargaan pada pimpinan. Pemimpin yang kharismatik adalah figur yang dihormati, dihargai, dan sebagai pusat identifikasi. Karyawan yang menunjukkan disiplin terhadap aturan organisasi bukan disebabkan karena menghormati aturan tersebut tetapi lebih disebabkan keseganan pada atasannya. Karyawan merasa tidak enak apabila tidak mentaati peraturan. Penghormatan dan penghargaan karyawan pada pemimpin dapat disebabkan karena kualitas kepribadian yang baik atau mempunyai kualitas professional yang tinggi di bidangnya. Jika pusat identifikasi ini tidak ada maka disiplin kerja akan menurun, pelanggaran meningkat frekuensinya.

3. Disiplin karena Internalisasi
Disiplin kerja dalam tingkat ini terjadi karena karyawan mempunyai system nilai pribadi yang menjunjung tinggi kedisiplinan. Dalam taraf ini, orang dikategorikan telah mempunyai disiplin diri.

b. Faktor Lingkungan
Disiplin kerja yang tinggi tidak muncul begitu saja tetapi merupakan suatu proses belajar yang terus menerus. Proses pembelajaran agar dapat efektif maka pemimpin yang merupakan agen pengubah perlu memperhatikan prinsip-prinsip konsisten, adil bersikap positif dan terbuka.
Konsisten adalah memperlakukan aturan secara konsisten dari waktu ke waktu. Sekali aturan yang telah disepakati dilanggar, maka rusaklah sistem aturan tersebut. Adil dalam hal ini adalah memperlakukan seluruh karyawan dengan tidak membeda-bedakan. Upaya menanamkan disiplin pada dasarnya adalah menanamkan nilai-nilai, oleh karenanya komunikasi terbuka adalah kuncinya. Dalam hal ini, adalah transparansi mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, termasuk di dalamnya sangsi dan hadiah apabila hadiah apabila karyawan memerlukan konsultasi terutama bila aturan-aturan dirasakan tidak memuaskan karyawan. Selain factor kepemimpinan, gaji kesejahteraan dan system penghargaan yang lainnya pun merupakan factor yang tidak boleh dilupakan.

Bentuk-bentuk Disiplin Kerja
Menurut Keith Davis terdapat 2 bentuk disiplin kerja yaitu :
a. Disiplin Peventif
Disiplin Preventif adalah suatu upaya menggerakkan pegawai untuk mengikuti dan mematuhi pedoman kerja, aturan-aturan yang telah digariskan oleh perusahaan. Tujuan dasarnya adalah untuk mengggerakan pegawai berdisiplin diri. Disiplin preventif merupakan suatu system yang berhubungan dengan kebutuhan kerja untuk semua bagian system yang ada dalam organisasi.
b. Disiplin Korektif
Disiplin korektif adalah suatu upaya menggerakkan pegawai dalam menyatukan suatu peraturan dan mengarahkan untuk tetap mematuhi peraturan sesuai dengan pedoman yang berlaku pada perusahaan. Pada disiplin korektif pegawai yang melanggar disiplin perlu diberikan sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku. Tujuan pemberian sanksi adalah untuk memperbaiki pegawai pelanggar, memelihara peraturan yang berlaku dan memberikan pelajaran kepada pelanggar.
Keih Davis berpendapat bahwa disiplin korektif memerlukan perhatian proses yang seharusnya yaitu prosedur yang harus menunjukkan bahwa pegawai itu benar-benar terlibat.Keperluan proses yang seharusnya ini diantaranya adalah :
• Suatu prasangka tak bersalah sampai pembuktian bahwa pegawai berperan dalam pelanggaran.
• Hak untuk didengar dalam beberapa hasus yang terwakilkan oleh pegawai lain.
• Disiplin itu dipertimbangkan dalam hubungannya dengan keterlibatan pelanggaran.
Sedangkan berdasarkan buku Sumber Daya Manusia untuk Perusahaan terdapat 4 perspektif bentuk disiplin kerja yaitu :

a. Disiplin Retributif
Disiplin retributif adalah bentuk disiplin kerja dimana para penganbil keputusan mendisiplinkan dengan suatu cara yang proporsional terhadap sasaran dengan tidak melakukan hal seperti itu akan dianggap tidak adil oleh orang-orang yang bertindak tidak tepat dan bertujuan untuk menghukum si pelanggar.
b. Disiplin Korektif
Disiplin korektif adalah suatu bentuk disiplin dimana pelanggaran-pelanggaran terhadap peraturan-peraturan harus diperlakukan sebagai masalah-masalah yang dikoreksi daripada sebagai pelanggaran-pelanggaran yang mesti dihukum, hukuman yang diberikan akan lunak karena hukuman hanya sebatas agar pelanggar menunjukan kemauan untuk mengubah perilakunya. Tujuan akhir dari disiplin korektif ini adalah untuk membantu karyawan mengoreksi perilaku yang tidak dapat diterima sehingga dia dapat terus berguna bagi perusahaan.
c. Perspektif hak-hak individu
Perspektif hak-hak individu adalah sebuah pandangan yang memandang disiplin hanya tepat dilaksanakan jika terdapat alasan yang adil untuk menjatuhkan hukuman. Hak-hak karyawan lebih diutamakan daripada tindakan disiplin. Perspektif hak-hak individu bertujuan untuk melindungi hak-hak individu.
d. Perspektif Utilitarian
Perspektif utilitarian adalah sebuah perspektif yang berfokus pada penggunaan disiplin hanya pada saat konsekuensi-konsekuensi tindakan disiplin melebihi dampak-dampak negatifnya.
Pada dasarnya perspektif mengenai bentuk-bentuk disiplin pada buku Manajemen Sumber Daya Manusia untuk Perusahaan ini hampir sama dengan bentuk-bentuk disiplin kerja menurut Keith Davis hanya saja disiplin korektif, perspektif hak-hak individual dan perspektif utilitarian dalam bentuk-bentuk disiplin kerja Keih Davis termasuk pada keperluan proses disiplin korektif.


Tindakan Indisipliner
Bimbingan Teguran Secara Lisan



Skors Teguran Secara Tertulis

Teguran Secara Lisan
Teguran secara lisan terbatas dalam hal mengingatkan perawat untuk kesalahan yang kecil dan baru pertama kali dilakukan. Sebagai suatu tindakan koreksi, biasanya teguran dilakukan secara pribadi dengan cara yang bersahabat dengan tetap memperhatikan situasi dan kondisi lingkungan. Bantu bawahan untuk membuat keputusan agar tidak mengulangi kesalahannya. Buat catatan khusus bahwa perawat telah melakukan konsultasi, catat waktu, tempat, dan permasalahannya, serta kesimpulan konsultasi. Dokumen dimasukkan kedalam file pribadi perawat.
Teguran Secara Tertulis
Teguran secara tertulis dilakukan apabila pelanggaran diulangi kembali, tidak menunjukan perbaikan atau pelanggarannya cukup serius. Dalam teguran secara tertulis, harus dicantumkan nama pegawai, nama pimpinan, permasalahannya, rencana perbaikan, dan batas waktu perbaikan serta konsekwensi nya apabila pelanggaran diulangi. Bawahan harus membaca dan memahami sanksi yang diberikan dan disepakati bersama. Dokumen dimasukan ke dalam file pribadi pegawai dan tembusannya diberikan kepada yang bersangkutan. Sanksi biasanya disesuaikan dengan kebijakan institusi atau organisasi setempat.
Keputusan Terakhir/Skors
Keputusan terakhir atau terminasi dilakukan karena pimpinan melihat bahwa kesalahan yang dilakukan oleh bawahan sudah sangat serius dan selama batas waktu perbaikan perilaku bawahan tidak memperlihatkan perubahan. Keputusan terakhir biasanya dilakukan dengan melibatkan pimpinan organisasi/Departemen. Keputusan terakhir /skors dapat dilakukan dengan berbagai cara tergantung pada tingkat kesalahannya maupun kebijakan dari institusi / organisasi. Antara lain adalah : Penurunan pangkat, mutasi, penundaan kenaikan pangkat / berkala, penurunan insentif, tidak diperkenankan bekerja untuk jangka waktu pendek , jangka waktu panjang, atau akhirnya diberhentikan / dikeluarkan.


BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa motif dapat mendorongan sikap dan disiplin kerja karyawan dengan adanya kebutuhan dalam diri pegawai yang perlu dipenuhi agar pegawai tersebut dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Motivasi merupakan kondisi yang menggerakkan pegawai agar mampu mencapai tujuan dari motifnya yang merupakan energi untuk membangkitkan dorongan dalam diri (drive arousal).
Dapat juga diartikan bahwa motivasi adalah suatu proses dimana kebutuhan-kebutuhan mendorong seseorang untuk melakukan serangkaian kegiatan yang mengarah ke tercapainya tujuan tertentu. Jadi motivasi adalah sesuatu yang menimbulkan semangat atau dorongan.
Dengan adanya motivasi maka dapat membantu psikolog (terutama psikolog yang bergerak dibidang industri) dengan cara memberikan dorongan kepada karyawan atau tenaga kerja supaya mampu melaksanakan perilaku dalam upaya memecahkan masalah yang dihadapi oleh perusahaan untuk memotivasi karyawan dalam bekerja. Motivasi dapat berupa pembeian gaji ataupn insentif bagi pekerja yang berprestasi.

B. Rekomendasi
Berdasarkan pemaparan makalah, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar pekerja dapat termotivasi dalam bekerja, diantaranya:
1. Administrasi dan kebijakan perusahaan yang memperlihatkan dukungan terhadap pemenuhan kebutuhan karyawan
2. Gaji yang diterima oleh karyawan sesuai dengan pekerjaan yang dia lakukan atau adanya timbale balik yang seimbang antar pekerjaan dengan upah yang diterima
3. Hubungan antar pribadi antar karyawan dengan atasan maupun dengan rekan kerja dapat terjalin dengan baik
4. Kondisi kerja yang kondusif sehingga karyawan merasa nyaman dalam melakukan pekerjaannya.