Emosi adalah warna afektif yang kuat dan ditandai oleh
perubahan-perubahan fisik. Emosi adalah pengalaman afektif yang disertai
penyesuaian dari dalam diri individu tentang keadaan mental dan fisik dan
berwujud suatu tingkah laku yang tampak. Jenis emosi yang secara normal dialami
antara lain: cinta, gembira, marah, takut, cemas, sedih dan sebagainya.
Aspek emosional dari suatu perilaku, pada umumnya, selalu
melibatkan tiga variable, yaitu : rangsangan yang menimbulkan emosi (the stimulus variable), perubahan-perubahan
fisiologis yang terjadi bila mengalami emosi (the organismic variable), dan pola sambutan ekspresi atas
terjadinya pengalaman emosional itu (the
response variable). Yang mingkin dapat diubah dan dipengaruhi atau diperbaiki (oleh para
pendidik atau guru) adalah variabelpertama dan ketiga (the stimulus-response variable), sedangkan variable kedua tidak
mungkin di perbaiki karena merupakan proses fisiologis yangterjadi pada
organisme secara mekanis.
Setiap kebudayaan memiliki stereotip emosi yang
berbeda-beda dan cara yang berbeda-beda pula dalam menanggapi emosi yang
ditunjukkan orang lain kepadanya. Kebudayaan menentukan perilaku individu,
selain berpotensi untuk menggerakkan dan mendorong perilaku individu yang hidup
di dalamnya, kebudayaan dapat mengekang atau menahan individu untuk berperilaku
tertentu (Harahap dan Siahaan, 1987). Pemantapan perilaku tersebut dapat
terlaksana dengan baik melalui proses enkulturasi bahasa, sistem kekerabatan,
kepercayaan, upacara ritual, dan nilai-nilai dalam keluarga maupun masyarakat
(Purba, 2004).
Terdapat begitu banyak kebudayaan dan etnis di Indonesia,
tentunya banyak pula perbedaan stereotip emosinya. Budaya yang berbeda
menghasilkan konsep diri yang berbeda pada anggota-anggotanya yang kemudian
mempengaruhi semua aspek-aspek lain dari perilaku individu (Matsumoto dan
Juang, 2004). Matsumoto dan Juang (2004) juga menambahkan bahwa kekhasan suatu
budaya dapat dilihat dari proses marah yang terjadi pada masyarakatnya karena
setiap budaya memiliki nilai-nilai budaya dan aturan yang khas tentang cara
individu dalam budaya tersebut menghayati suatu stimulus yang memicu munculnya
kemarahan, dan cara mengekspresikan kemarahannya.
Pada kesempatan ini penulis akan mencoba menjabarkan
tentang dua stereotip emosi dari dua etnis di Indonesia, yaitu etnis batak dan
etnis sunda. Tentunya akan timbul pertanyaan dari kita semua, mengapa penulis
menjabarkan emosi yang terdapat pada etnis batak dan etnis sunda? Mengapa tidak
membahas emosi dari etnis lainnya? Berikut akan coba dijelaskan oleh penulis
sambil melihat keunikan emosi kedua etnis tersebut.
I.
Etnis Batak
Etnis batak merupakan etnis yang banyak bermukim di
Provinsi Sumatera Utara, meskipun penyebarannya sudah hampir merata di seluruh
Indonesia. Ada satu keunikan yang dimiliki oleh etnis batak yaitu terkenal
tempramental dan selalu bernada suara tinggi jika bersuara. Bahkan kebanyakan
masyarakat Indonesia dari etnis lain berpikiran kalau etnis batak merupakan
orang yang keras dan cenderung kasar. Namun sebenarnya tidak seperti itu, cuma
karena nada bicara yang tinggi saja sehingga orang berpikiran demikian.
Konsep dasar kebudayaan Batak adalah Dalihan Na Tolu yang
artinya tiga tiang tungku atau tiga status sosial. Ketiga status sosial
tersebut adalah Hula-hula (pihak keluarga ibu atau pemberi istri), Boru
(keluarga saudara perempuan atau penerima istri), dan Dongan Tubu (anggota
keluarga yang berasal dari satu keturun atau teman semarga). Falsafah hidup
suku bangsa Batak Toba yang berlandaskan Dalihan Na Tolu ini mencakup “Somba
marhula-hula, elek marboru, manat mardongan tubu” yaitu hormat pada
Hula-hula, ramah dengan melakukan pendekatan/membujuk Boru, dan berhati-hati
dalam menjaga hubungan baik dengan teman semarga. (Harahap dan Siahaan, 1987;
Simanjuntak, 2000).
Dalam Dalihan Na Tolu juga terdapat suatu kemandirian menghasilkan potensi konflik
yang tinggi berupa keinginan untuk bersaing dan lebih lanjut menghasilkan pula
rasa iri dan dengki yang dalam. Perasaan tersebut dalam bahasa Batak Toba
dikenal dengan hosom (dendam), elat (dengki, iri), late (dengki,
iri) dan teal (sombong) (Harahap dan Siahaan, 1987). Irmawati (2007)
menjelaskan bahwa perasaan tersebut juga membuat suku bangsa Batak Toba sulit
menyatakan dirinya telah gagal. Sehingga merekapun sulit untuk menyerah begitu
saja.
DR. Plasthon Simanjuntak menyatakan bahwa tingginya emosi
(emosional) yang ditemukan pada suku bangsa Batak Toba tidak lepas dari budayanya
yaitu terbuka dalam segala hal. Hal ini terungkap dalam pribahasa Batak Toba
yang berbunyi: “Si boru puasi, si boru bakkara. I si puas i si soada mara”,
artinya bila sudah terbuka persoalan maka disitu ada jalan keluarnya. Disini
dapat kita lihat bagaimana orang dari etnis batak merupakan orang yang tegas
dan pantang untuk menyerah sehingga wajarlah rasanya kalau merekan dianggap
orang yang keras dari segi emosi.
II.
Etnis Sunda
Suku Sunda adalah kelompok etnis yang berasal dari
bagian barat pulau Jawa, Indonesia, yang mencakup wilayah administrasi provinsi
Jawa Barat. Suku Sunda merupakan etnis kedua terbesar di Indonesia, setelah
etnis Jawa. Sekurang-kurangnya 15,41% penduduk Indonesia merupakan orang Sunda.
Mayoritas orang Sunda beragama Islam. Namun dalam kehidupan sehari-hari, masih
banyak masyarakat yang mempercayai kekuatan-kekuatan supranatural, yang berasal
dari kebudayaan animisme dan Hindu. Kepercayaan tradisional Sunda Wiwitan masih
bertahan di beberapa komunitas pedesaan suku Sunda, seperti di Kuningan dan
masyarakat suku Baduy di Lebak yang berkerabat dekat dan dapat dikategorikan
sebagai suku Sunda.
Jati diri yang mempersatukan orang Sunda adalah
bahasanya dan budayanya. Orang Sunda dikenal memiliki sifat optimistis, ramah,
sopan, dan riang, akan tetapi mereka dapat bersifat pemalu dan terlalu perasa
secara emosional dan terkesan agak sedikti manut kepada orang lain. Karakter
orang Sunda seringkali ditampilkan melalui tokoh populer dalam kebudayaan
Sunda; Kabayan dan Cepot. Mereka bersifat riang, suka bercanda, dan banyak
akal, tetapi seringkali nakal.
Jika menilik kedua etnis diatas, tentunya akan menjadi
menarik ketika membahasnya lebih mendalam. Suku batak yang terkenal memiliki
suara yang bernada tinggi dan tidak mau kalah tentunya memiliki perbedaan yang
unik dengan etnis sunda yang ramah, sopan, tetapi agak pemalu dan perasa secara
emosional. Karena itulah penulis tertarik untuk mencoba meninjau perbedaan dan
kesaan emosi yang ada pada kedua etnis
terbesar di Indonesia tersebut.
Daftar perpus:
Atkinson, Rita. L,Atkinson, Richard. C dan Hilgard,
Ernest. R. 1983. Pengantar Psikologi
(terj). Jakarta : Erlangga.
http://www.repository.usu.ac.id/
(online)
http://www.Silaban.net
(online)
http://www.zeinhein.blogspot.com/